Persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.Sumber : Cerpen.net
Persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.Sumber : Cerpen.net
sahabat
Skripsi masih terbengkalai, laporan masih
terbengkalai, tugas-tugas kuliah pun masih terbengkalai, dan sekarang muncul
pula masalah yang memusingkan kepala. Dia datang dengan wajah cemberut yang
duh…. Aku tak suka, wajah itu mengingatkan aku pada musuh-musuh palestina, dia
seakan ingin memangsa diriku sampai tak berdaya.Gayanya, senyum sinisnya,
bicaranya, diamnya, dan aku muak pada semua yang berhubungan dengannya. Iya,
aku tau, dia sahabatku, sahabat yang selama ini ada di sampingku, berjuang dan
hidup di tempat yang sama, bahkan tak jarang makan dan tidur bersama. Tapi
sedihnya kebersamaan yang indah itu harus terenggut begitu saja, kami mengalami
perang dingin semenjak kebersamaan itu terekat semakin indah. Awalnya tidak ada
yang salah, kami tetap seperti dulu akrab dan selalu bersama, di mana-mana
berdua, di mana diri ini berada di situ pun ada dia. Tapi seketika bencana
datang menghadang, ombak yang besar menghancurkan sendi-sendi persahabatan
kami, yang ada hanya puing-puing tak berarti.Aku sedih!Iya, aku sangat sedih.
Dalam waktu sekejap persahabatan yang indah itu hancur berkeping-keping. Wajah
manis berubah menakutkan, tak ada kata yang keluar dari bibirku dan bibirnya.
Bibir itu mengatup tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi kesedihan.
Kebersamaan berubah menjadi perpisahan. Meski raga bersatu tapi jiwa
terpisah.Sering aku bertanya di hati, kenapa ini bisa terjadi? Mengapa
kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa harus ada kesedihan setelah
kesedihan itu pergi.Tapi, tak ada jawaban!Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku
tetaplah insan lemah yang tak punya daya. Aku tidak bisa mengelak dari bencana
itu."vit, besok kita ngajar harus pake media, tadi siang buk lila pesan."
Aku beranikan diri menghampirinya. Aku harus bisa melawan syetan itu. Aku tidak
mau di cap sebagai orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti sabda
Nabi dalam sebuah hadistnya : "Tidak akan masuk surga orang yang
mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari."Percuma beribadah
sepanjang masa kalau akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa aku mati-matian
ungkapkan sepatah dua patah kata padanya. Aku tidak peduli apakah dia mau
dengar atau tidak, ditanggapi atau tidak aku tidak peduli. Biar saja, yang
penting tugas dan kewajibanku selesai. Dia mengangguk sambil bergumam pelan,
aku tidak sempat mendengar gumaman itu karena aku terlanjur mengangkat kaki
dari sana, aku tak punya daya untuk terus menopang kaki di tempat itu.Tak ada
ucapan terima kasih yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah! Aku tidak butuh
ucapan terima kasih itu, yang pasti aku lega karena kewajiban itu berhasil aku
tunaikan. Setidaknya aku tidak akan masuk neraka karenanya. Itu saja!Lambat
laun perang dingin itu tercium juga. Aku ditemui Soleha setelah shalat magrib
berjamaah di Mushala."uni ada masalah ya sama ni vita?" tanyanya
sambil mengulurkan tangan bersalaman setelah shalat. mau tidak mau aku harus
jujur."iya, uni juga nggak tau kenapa bisa terjadi."
Ujarku."awalnya gimana kejadiannya uni?" soleha balik
bertanya."uni rasa karena masalah kemaren, dia nanya tapi uni
menanggapinya kurang ramah. Seharusnya dia juga ngerti uni lagi
panik.""uni napa jawabnya kurang ramah?" protes soleha."uni
kesal aja, dia nggak sopan nanya ma uni. Mang dia anggap uni apa?" aku
balik protes."soleha tau, semuanya terjadi karena uni sama-sama panik. Itu
biasa kok ni, sekarang uni lupakan saja masalah itu. Kembalilah bersikap biasa,
bersahabatlah seperti dulu. Soleha nggak suka uni seperti itu, uni teladan bagi
kami. Masa seorang kakak memberikan contoh yang tidak baik pada
adik-adiknya.""sebenarnya uni memang salah, seharusnya seharusnya uni
bersikap bijaksana, tidak boleh membalas keegoan dengan keegoan yang
lain.""nah, tu…. Uni tau sendiri. Sekarang uni harus seperti dulu
lagi, sapa dan bicaralah dengannya. Jangan takut dicuekin… itu tantangan mulia
bagi uni. Ayo uni-ku… berjuanglah! Sangat mulia orang yang menghubungkan
silaturrahmi." Soleha menasihatiku. Aku bersyukur punya adik yang perhatian
dan suka mengingatkan. Dia memang soleha yang solehah."makasih sayang ya…
uni akan berjuang mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon doanya
dek…"***Aku menggerakkan bibir sambil membentuknya menjadi lebih indah,
itu senyuman paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap senyuman itu bisa
meluluhkan hatinya. Tapi ternyata senyum itu hanya tinggal senyum, senyuman
manisku teracuhkan begitu saja, dia melengah tanpa membalas sedikitpun. Hati
menyuruh sabar, sabar dan tetap sabar.Perjuangan belum usai!Aku tidak boleh
menyerah….Aku harus tetap berjuang sampai senyuman manisku di balas dengan
senyuman yang paling manis."oya, vit… besok materi ajar kita tentang
khutbah, tabligh dan dakwah." Lagi-lagi senyumku mengembang sambil
menyapanya. Aku bersyukur punya bahan pembicaraan supaya bisa berbicara
dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih! Ah, sudah
biasa!Hari ini kos-an sepi, sunyi, tak ada suara-suara yang berarti. Mungkin
semua warga sibuk denga mata kuliah di kampus. Aku tau, di kamar sebelah ada
vita. Aku juga tau, hanya aku dan vita yang tersisa di kos-an hari ini.
Kebetulan sama-sama punya jadwal libur. ketua pamong bersabda, mahasiswa PPL
diberi tenggang sekali seminggu supaya tidak terlalu capek, maklumlah baru
praktek. Insyaallah kalau nanti telah resmi jadi buk guru baru lah standby tiap
hari di sekolah.Hari ini ada seminar proposal teman, aku harus menghadirinya.
Tidak adil kalau sempat tidak hadir di hari perjuangannya, toh… dia pun hadir
ketika aku diseminarkan minggu lalu."vit, ana ke kampus dulu ya… Rodi
seminar jam sembilan ini." Lagi-lagi aku tabah-tabahkan hati setelah
sekali lagi di cuekin. Di hati aku berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan
bisa menerima aku kembali menjadi sahabatnya. Sayang, persahabatan indah itu
harus pupus di tengah jalan setelah sekian lama membinanya.***"boleh
bicara, vit?" aku menghampirinya di kamar. Dia cuek, tanpa menoleh sama
sekali, matanya lekat tertuju ke monitor komputer. "vit, kamu dengar suara
aku kan?" kali ini suaraku terdengar serak. Sedih sekali di cuekin seperti
ini."mau ngomong apa?" itu suara vita. Alhamdulillah akhirnya suara
itu terdengar juga. Setelah sekian lama aku menantinya."kita tidak boleh
seperti ini terus vit… diam-diaman tanpa kenal dosa. Sedih hati ini vit, kita
bersahabat sejak lama, sayang hanya karena masalah sepele kita bermusuhan
seperti ini. Mari kita rajut kembali benang-benang itu menjadi tali ukhuwah
yang lebih indah, mari kita bina persahabatan kita kembali." Airmataku
berjatuhan dari pelupuknya. Airmata itu mengalir mengairi pipi mulusku lalu
merembes ke sela-sela jilbab ungu yang aku pakai. "Rabb, hati ini sedih
sekali." Bathinku pelan."terserahlah…." Hanya itu jawaban
darinya."terserah apanya vit?""ya… terserah!""kamu nggak
boleh seperti itu vit, kasihlah komentar harus seperti apa hubungan ita, harus
di bawa kemana persahabatan kita?""up to you!" itu jawaban
singkat yang betul-betul menyinggung perasaanku. Sedikitpun dia tidak
menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari jawaban ketus itu aku bisa mengambil
kesimpulan bahwa vita tak lagi menganggap diriku sahabatnya."terima kasih
vit atas jawabanmu, setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini.
Maaf kalau selama ini aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagimu,
maaf kalau selama ini aku sering repotkanmu dan maaf kalau aku
harus mengambil keputusan yang aku sendiri tak sanggup melakukannya. Tapi
sanggup tak sanggup aku harus tetap menjalankannya." Airmata bertambah
deras membasahi pipi, suaraku gemetar tak terhingga. Sebelum beranjak aku kuatkan
hati untuk mengulurkan tangan ingin bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir.
Alhamdulillah, dia menyambutnya walaupun hanya sekilas saja.Aku beranjak ke
kamar dengan hati pilu. Keputusanku sudah bulat, aku harus hijrah ke tempat
lain. Aku tidak mau menjadi sumber masalah di sini. Mengalah bukan berarti
kalah bukan??
Persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada
seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu
diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain
basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit
mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka
dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun
berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.”
kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah
sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih
kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”,
“Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja
sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja
deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain
basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa
yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis.
Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya
dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah
tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella
juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat
aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya
sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun
memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain
basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku.
“Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di
lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu
seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia
melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba
menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah.
“Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR!
Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah
berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya.
“Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong
kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella
mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela.
Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira
masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini
kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar
pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak
sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada
ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian
mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas
mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella
aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku.
“Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada
Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella
padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah
dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat
ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap
salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk
dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil
masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku
memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante
Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah
selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap
ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun
langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano
kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku.
“Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami
naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah
selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk
langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante
Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya
tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta
ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju.
Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya
ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai
makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella.
Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku
masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap
kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung
lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk
berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku
suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak
bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu
lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan
akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa
aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap
persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.
Sahabat Aneh
Pulang
kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna tersendiri
dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
Khairul
Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna
tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana, aku melangkah tegap
menuju bus yang akan membawaku ke Doro, sebuah kota kecamatan kecil 20 km di
sebelah selatan Pekalongan.
Bus Binatur
yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya sekali dua bus
berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah
berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.
Sampai di
perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian turun hujan. Kuedarkan
pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang buram, kulihat butiran mutiara itu
berlomba turun menjejak ke bumi. Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak
jalan yang tidak seberapa luas.
Sejam
kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar Doro. Di kota
kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal colt angkutan
pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di antaranya yang
nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu dengan bus yang akan
datang.
"Masih
seperti dulu," gumamku membatin, ketika melihat sebuah colt jurusan
Karanganyar berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang
yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan
rapat membentuk teralis menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum
mendapat penumpang yang rapat seperti itu, colt memang belum mau berangkat.
Padahal itu sungguh membahayakan keselamatan penumpang.
Aku menarik
napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Dengan jilbabku yang bersih ini,
aku pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak dengan orang, barang belanjaan,
dan ayam. Sudah tercium olehku keringat bercampur kubis busuk, tai ayam, dan
aroma parfum yang tajam menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas
sampai, karena jumlah angkutan di sini sangat terbatas.
Colt jurusan
Lemahabang yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku mendapat tempat duduk di
depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi tak separah seperti duduk di
belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat, mendapat tempat duduk di ruang sopir,
harus berani membayar lebih, karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak
diperebutkan.
Calo sudah
memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat.
Aku bernapas lega.
Pak sopir
masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu melintas sebuah bayangan
yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku masih mengingatnya dengan baik,
itu adalah bayangan Silva, taman sekampung, teman masa kecil, teman
sepermainanku dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan
rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat
sampai di rumah.
"Sebentar,
Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan perseneling ke gigi
satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil, mengejar Silva.
Terdengar
teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas aku
menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu pun
berangkat.
Aku berhasil
mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
"Mau
kemana?" tanyaku.
Silva
menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke
arah timur.
"Mestinya
kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas colt tadi
belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang? Sudah siang
begini tak ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan ibu-ibu yang belanja
sudah pada pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik untuk bisa pulang hari
ini."
Silva tak
berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau
periksa? Okelah, aku menemanimu."
Melewati
sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
"Lho,
kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan, dong?!"
protesku. Silva tak menanggapi protesku. Ia terus saja melangkah.
"Baiklah,
kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak mendapat
colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
Kami lewat
di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat jalan, menghadap ke
timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh,
kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah hampir jam
satu," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan tanganku.
Aku
mendahului Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah itu mengambil
wudhu dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak tampak bayangannya.
Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih,
dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan sepatu
bersiap meninggalkan masjid.
Aku kembali
ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada serombongan orang yang
hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di Lemahabang. Mereka mendapatkan
colt dan aku mengikuti saja. Tampaknya rombongan itu membayar lebih, sehingga
tak usah menunggu penumpang berdesak. Alhamdulillah.
Mobil yang
kami tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu berbelok ke selatan.
Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena colt mesti melewati jalan
berbatu tidak rata, dengan medan yang terus menanjak. Badan colt bergerak
seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak tertatih, megal-megol, oleng ke kiri
dan ke kanan, kepalanya mengangguk-angguk.
Setelah
lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin
memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada apa? Serentak kami arahkan
pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt
berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.
Ternyata ada
colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas, sebagian yang lain
luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah colt yang hendak kutumpangi
tadi, tapi tidak jadi!
Aku
tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya. Pandanganku
yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan berlumur
darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang ringsek. Wajah-wajah
yang basah oleh airmata. Telingaku menangkap raungan tangis tak beraturan dari
mereka yang masih bisa menagis. Allah Mahabesar.
"Dik,
naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
Kuusap
mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki yang berkata tadi.
Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan perjalanan.
Begitu
sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Silva. Dia sendiri yang
membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung kutubruk dan kupeluk
ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
Silva balas
memeluk.
"Tenanglah...,"
bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku menuju ke kamarnya. Setelah
meminum air putih pemberian Silva, aku sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan
semua kepadanya. Tentang pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku
di masjid. Juga tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat
kecelakaan...
"Kuminta
jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian
ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Sungguh! Kalau tak percaya,
tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi sampai menjelang Zuhur,
aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari sawah aku mampir ke pancuran,
bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat
sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," jalas Silva runut.
"Aku
percaya. Lantas, siapa gadis mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"
Kami saling
berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku
percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan cara-Nya sendiri. Terima
kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak henti-hentinya kusebut nama-Nya.
CERPEN SEDIH(Arti Persahabatan)
Misha sinkap kembali tabir ingatannya. Sharon. Manis
nama itu, semanis orangnya. Dialah kawan karib Misha yang selalu diingatannya.
Sudah enam tahun mereka mengenali antara satu sama lain. Kegembiraan dan
keperitan hidup di alam remaja mereka melalui bersama. Tetapi semua itu hanya
tinggal kenangan sahaja. Misha kehilangan seorang sahabat yang tidak ada
kalang-gantinya.
Peristiwa itu berlaku dua tahun yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin sekolah. Misha sedang marahkan Sharon kerana mengambil pena kesukaannya tanpa izinya dan menghilangkannya.
Apabila Misha bertanya, dia hanya berkata yang dia akan menggantikannya. Misha tidak mahu dia menggantikannya. Kerana pena yang hilangtu berlainan dengan pena yang akan diganti oleh Sharon. Pena yang hilang itu adalah hadiah daripada Sharon sewaktu mereka pertama kali menjadi sepasang kawan karib.
"Aku tak mahu kau menggantikannya! Pena yang hilangtu berharga bagiku! Misha memarahi Sharon." " Selagi kau tak jumpa penatu, selagi itulah aku tak akan bercakap dengan kau!" Marahnya Misha pada Sharon. Meja kantintu di hentaknya dengan kuat hingga terkejut Sharon. Misha yang mukanya memang kemerah-merahan, bila marah bertambahlah merahlah mukanya. Sharon dengan keadaan sedih dan terkejut hanya berdiamkan diri lalu beredar dari situ. Misha tahu Sharon berasa sedih mendengar kata-katanya itu. Misha tidak berniat hendak melukainya tetapi waktu itu dia terlalu marah dan tanpa dia sedari, mutiara jernih membasahi pipinya.
"Sudah beberapa hari Sharon tidak datang ke sekolah. Aku merasa risau. Adakah dia sakit? Apa yang terjadi" Berkata-kata Misha seorang diri. Benak fikirannya diganggu oleh seribu satu pertanyaan "EH! Aku nak pergi kerumahnyalah" Berbisik Misha di hatinya. Tetapi niatnya berhenti di situ. Dia merasa segan. Tiba-tiba talipon dirumah Misha berbunyi "Ring,riiiiiiiing,riiiiiiiiing,riiiiiiiing"Ibu Misha yang menjawab panggilan itu."Misha, oh, Misha "Teriak ibunya. "Cepat, salin baju. Kita pergi rumah Sharon ada sesuatu berlaku. Kakaknya Sharon talipon suruh kita pergi rumahnya sekarang jugak" Suara ibu Misha tergesa-gesa menyuruh anak daranya cepat bersiap. Tiba-tiba jantung Misha bergerak laju. Tak pernah dia merasa begitu. Dia rasa tak sedap. Ini mesti ada sesuatu buruk yg berlaku. "Ya Allah, kau tenteramkanlah hatiku. Apapun yang berlaku aku tahu ini semua ujianmu. Ku mohon jauhilah segala perkara yang tak baik berlaku. kau selamatkanlah sahabatku." Berdoa Misha pada Allah sepanjang perjalanannya ke rumah Sharon.
Apabila tiba di sana, rumahnya dipenuhi dengan sanak -saudaranya. Misha terus menuju ke ibu Sharon dan bersalaman dengan ibunya dan bertanya apa sebenarnya yang telah berlaku. Ibunya dengan nada sedih memberitahu Misha yang Sharon dilanggar lori sewaktu menyeberang jalan berdekatan dengan sekolahnya." Dia memang tidak sihat tapi dia berdegil nak ke sekolah. Katanya nak jumpa engkau. Tapi hajatnya tak sampai. Sampai di saat dia menghembuskan nafasnya, kakaknya yang ada disisinya ternampak sampul surat masa ada dia gengam ditangannya" terisak-isak suara ibu Sharon menceritakan pada Misha sambil menghulurkan surat yang Sharon beriya-iya sangat ingin memberikannya pada sahabatnya.
Didalam sampul surat itu terdapat pena kesukaanku. Disitu juga terdapat notadaripadnya.
MISHA SHARMIN,
AKU MINTA MAAAF KERANA MEMBUAT KAU MARAH KERANA TELAH MENGHILANGKAN PENA KESUKAANMU. SELEPAS ENGKAU MEMARAHI AKU, AKU PULANG DARI SEKOLAH SEWAKTU HUJAN LEBAT KERANA INGIN MENCARI PENAMU.DI RUMAH AKU TAK JUMPA.TAPI AKU TAK PUTUS ASA DAN CUBA MENGINGATINYA DAN AKU TERINGAT, PENATU ADA DI MEJA SCIENCE LAB . ITUPUN AGAK LAMBAT AKU INGIN KESEKOLAH KERANA BADANKU TAK SIHAT TAPI DENGAN BANTUAN SITI DIA TOLONG CARIKAN. PENATU SITI JUMPA DIBAWAH MEJAMU. TERIMA KASIH KERANA TELAH MENGHARGAI PEMBERIANKU DAN PERSAHABATAN YANG TERJALIN SELAMA SETAHUN. TERIMA KASIH SEKALI LAGI KERANA SELAMA INI MENGAJARKU TENTENG ERTI PERSAHABATAN.
SHARON OSMAN.
Kolam mata Misha dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinangan dengan derasnya.Kalau boleh ingin dia meraung sekuat hatinya. Ingin dia memeluk tubuh Sharon dan memohon maaf padanya tapi apakan daya semuanya dah terlambat. Mayat Sharon masih di hospital. Tiba-tiba dentuman guruh mengejutkan Misha daripada lamunan. Barulah dia sedar bahawa dia hanya mengenangkan kisah silam. Persahabatan mereka lebih berharga daripada pena itu. Misha benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Dia berjanji tak akan membenarkan peristiwa ini berulang kembali. Semenjak itu Misha rajin bersolat dan selesai solat dia akan membaca al quran dan berdoa dan bersedekahkan ayat-ayat al quran kepada sahabatnya. Dengan cara ini sahajalah yang dapat Misha balas balik jasanya Sharon dan mengeratkan persahabatanya. Semoga dengan kalam Allah Sharon akan bahagia di alam baza.
Peristiwa itu berlaku dua tahun yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin sekolah. Misha sedang marahkan Sharon kerana mengambil pena kesukaannya tanpa izinya dan menghilangkannya.
Apabila Misha bertanya, dia hanya berkata yang dia akan menggantikannya. Misha tidak mahu dia menggantikannya. Kerana pena yang hilangtu berlainan dengan pena yang akan diganti oleh Sharon. Pena yang hilang itu adalah hadiah daripada Sharon sewaktu mereka pertama kali menjadi sepasang kawan karib.
"Aku tak mahu kau menggantikannya! Pena yang hilangtu berharga bagiku! Misha memarahi Sharon." " Selagi kau tak jumpa penatu, selagi itulah aku tak akan bercakap dengan kau!" Marahnya Misha pada Sharon. Meja kantintu di hentaknya dengan kuat hingga terkejut Sharon. Misha yang mukanya memang kemerah-merahan, bila marah bertambahlah merahlah mukanya. Sharon dengan keadaan sedih dan terkejut hanya berdiamkan diri lalu beredar dari situ. Misha tahu Sharon berasa sedih mendengar kata-katanya itu. Misha tidak berniat hendak melukainya tetapi waktu itu dia terlalu marah dan tanpa dia sedari, mutiara jernih membasahi pipinya.
"Sudah beberapa hari Sharon tidak datang ke sekolah. Aku merasa risau. Adakah dia sakit? Apa yang terjadi" Berkata-kata Misha seorang diri. Benak fikirannya diganggu oleh seribu satu pertanyaan "EH! Aku nak pergi kerumahnyalah" Berbisik Misha di hatinya. Tetapi niatnya berhenti di situ. Dia merasa segan. Tiba-tiba talipon dirumah Misha berbunyi "Ring,riiiiiiiing,riiiiiiiiing,riiiiiiiing"Ibu Misha yang menjawab panggilan itu."Misha, oh, Misha "Teriak ibunya. "Cepat, salin baju. Kita pergi rumah Sharon ada sesuatu berlaku. Kakaknya Sharon talipon suruh kita pergi rumahnya sekarang jugak" Suara ibu Misha tergesa-gesa menyuruh anak daranya cepat bersiap. Tiba-tiba jantung Misha bergerak laju. Tak pernah dia merasa begitu. Dia rasa tak sedap. Ini mesti ada sesuatu buruk yg berlaku. "Ya Allah, kau tenteramkanlah hatiku. Apapun yang berlaku aku tahu ini semua ujianmu. Ku mohon jauhilah segala perkara yang tak baik berlaku. kau selamatkanlah sahabatku." Berdoa Misha pada Allah sepanjang perjalanannya ke rumah Sharon.
Apabila tiba di sana, rumahnya dipenuhi dengan sanak -saudaranya. Misha terus menuju ke ibu Sharon dan bersalaman dengan ibunya dan bertanya apa sebenarnya yang telah berlaku. Ibunya dengan nada sedih memberitahu Misha yang Sharon dilanggar lori sewaktu menyeberang jalan berdekatan dengan sekolahnya." Dia memang tidak sihat tapi dia berdegil nak ke sekolah. Katanya nak jumpa engkau. Tapi hajatnya tak sampai. Sampai di saat dia menghembuskan nafasnya, kakaknya yang ada disisinya ternampak sampul surat masa ada dia gengam ditangannya" terisak-isak suara ibu Sharon menceritakan pada Misha sambil menghulurkan surat yang Sharon beriya-iya sangat ingin memberikannya pada sahabatnya.
Didalam sampul surat itu terdapat pena kesukaanku. Disitu juga terdapat notadaripadnya.
MISHA SHARMIN,
AKU MINTA MAAAF KERANA MEMBUAT KAU MARAH KERANA TELAH MENGHILANGKAN PENA KESUKAANMU. SELEPAS ENGKAU MEMARAHI AKU, AKU PULANG DARI SEKOLAH SEWAKTU HUJAN LEBAT KERANA INGIN MENCARI PENAMU.DI RUMAH AKU TAK JUMPA.TAPI AKU TAK PUTUS ASA DAN CUBA MENGINGATINYA DAN AKU TERINGAT, PENATU ADA DI MEJA SCIENCE LAB . ITUPUN AGAK LAMBAT AKU INGIN KESEKOLAH KERANA BADANKU TAK SIHAT TAPI DENGAN BANTUAN SITI DIA TOLONG CARIKAN. PENATU SITI JUMPA DIBAWAH MEJAMU. TERIMA KASIH KERANA TELAH MENGHARGAI PEMBERIANKU DAN PERSAHABATAN YANG TERJALIN SELAMA SETAHUN. TERIMA KASIH SEKALI LAGI KERANA SELAMA INI MENGAJARKU TENTENG ERTI PERSAHABATAN.
SHARON OSMAN.
Kolam mata Misha dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinangan dengan derasnya.Kalau boleh ingin dia meraung sekuat hatinya. Ingin dia memeluk tubuh Sharon dan memohon maaf padanya tapi apakan daya semuanya dah terlambat. Mayat Sharon masih di hospital. Tiba-tiba dentuman guruh mengejutkan Misha daripada lamunan. Barulah dia sedar bahawa dia hanya mengenangkan kisah silam. Persahabatan mereka lebih berharga daripada pena itu. Misha benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Dia berjanji tak akan membenarkan peristiwa ini berulang kembali. Semenjak itu Misha rajin bersolat dan selesai solat dia akan membaca al quran dan berdoa dan bersedekahkan ayat-ayat al quran kepada sahabatnya. Dengan cara ini sahajalah yang dapat Misha balas balik jasanya Sharon dan mengeratkan persahabatanya. Semoga dengan kalam Allah Sharon akan bahagia di alam baza.
0 komentar:
Posting Komentar