Senin, 25 Februari 2013

Sejarah Cijulang dalam Konteks Makro (Studi Deskriftif)

Sejarah Cijulang dalam Konteks Makro (Studi Deskriftif)

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk deskrips data yang diolah berdasarkan sifat data sebagai
mana dikemukakan pada bagian terdahulu yang meliputi :

a. Sejarah lisan tentang keberadaan Wilayah (Situs) Sumur Bandung di Binangun.

b. Situasi dan kondisi keberadaan Wilayah (Situs) Sumur Bandung di Binangun Cijulang.

Untuk mengetahuai lebih jelas, mengenai keberadaan Wilayah (Situs) Sumur Bandung di Binangun sesuai dengan topik permasalahan di atas, maka akan diungkap pemaparannya sebagai berikut.


a. Sejarah Lisan tentang Keberadaan Wilayah Situs Sumur Bandung Di Binangun

Kisah sejarah lisan tentang Sumur Bandung Di Binangun yang penulis peroleh berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Saepuloh, Camat Kecamatan Cijulang, beliau menyatakan berdasarkan informasi yang beliau peroleh dari bebagai sumber, antara lain dari Bapak Deni,S.IP, Anggota Kasi Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis yang menerangkan bahwa diantara pusat-pusat kekuasaan yang ada di daerah Galuh kekuasaan Sang Prabu Mangun Ciker di Bojonglekor (Dusun Binangun sekarang). Ketika kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh tampil sebagai penguasa yang berdiri sendiri hingga 1595. Pusat kekuasaanya teretak di sekitar Cimaragas, yang sekarang dikenal dengan nama kampung Salawe. Kerajaan ini masih bercorak Hindu, namun ketika anaknya yang bernama Tanduran Ageung/Sunan Di Anjung yang diangkat anak oleh Sunan Cirebon, kemudian menikah dengan Prabu Dimuntur anak Geusan Ulun dari Sumedang, maka dari situlah mulai masuk agama Islam. Demikian pula yang terjadi di Binangun Kecamatan Cijulang, ketika Nini Gede Aki Gede yang merupakan keturunan Kedungrandu Banyumas datang ke Wilayah Cijulang dan menetapkan satu keturunan yaitu Janglangas yang menetap di Cijulang yang selanjutnya akan meneruskan tampuk kekuasaan.

Dalam perkembangannya, kemudian keterangan dari Bapak Abdurahman Masduki, Selaku Kepala Desa Kondangjajar Kecamatan Cijulang, yang menyatakan bahwa memang ada peninggalan Sejarah di Binangun, yaitu yang dikatakan sebagai Pusat Penguasa atau Ibukota Cijulang di masa lalu, sekitar waktu sebelum datangnya agama Islam di Kerajaan Galuh (sebelum tahun 1595-1618 M ) lalu.

Kemudian dituturkan pula oleh Aki Kursin, salah seorang Kuncen di Cijulang yang menyatakan bahwa Nini Gede Aki Gede adalah cikal bakal penguasa/pemerintah di Cijulang. Nini Gede Aki Gede keturunan dari Banyumas yang memiliki empat saudara, yaitu Sembah Jangpati (berkuasa di Ciamis), Sembah Jangraga (berkuasa di Karangsimpang), Sembah Jangsinga (berkuasa di Panjalu), dan Sembah Janglangas (berkuasa di Cijulang). Sementara itu menurut beliau terbukti Sumur Bandung di Dusun Binangun merupakan sebuah situs yang keberadaannya telah melegenda di hati rakyat serta tertulis dalam sebuah bukti sejarah Cijulang berupa naskah kuno bertuliskan hurup arab dengan bahasa sunda buhun berupa wawacan yang keberadaan bukunya dipegang oleh seorang kuncen.

Selain lokasi Situs yang terdapat di lokasi tersebut, juga adanya budaya yang berkembang di masyarakat, kegiatan “ngabukutaun” yaitu ritual tahunan berupa pembacaan naskah wawacan dari buku/kitab tersebut yang dianggap sakral sebagai buku sejarah dan biasanya kepala desa pun diundang. Namun demikian, tambah beliau, bahwa untuk dapat membaca naskah asli tersebut tidak sembarang orang bisa membacanya.

Lebih lanjut lagi kemudian diungkapkan cerita oleh Aki Enod selaku kuncen lainnya di Cijulang yang menyatakan kaitan kisah Sumur Bandung dengan Nini Gede Aki Gede dalam kaitannya dengan sejarah Cijulang, sebagai berikut.

Babad karuhun orang Cijulang berasal dari Kedungrandu daerah Banyumas yang bernama Nini Gede Aki Gede dengan empat bersaudara. Pertama, Sembah Jangpati (berkuasa di Ciamis), kedua, Sembah Jangraga (berkuasa di Karangsimpang), ketiga, Sembah Jangsinga (berkuasa di Panjalu), dan keempat Sembah Janglangas (berkuasa di Cijulang).

Nini Gede Aki Gede memiliki seorang putri yang cantik rupawan dan jadi harapan hati Kanjeng Sinuhun penguasa (raja) di Banyumas. Namun oleh Nini Gede Aki Gede anaknya itu tidak diijinkan untuk dipinang oleh Kangjen Sinuhun tersebut, sehingga dampaknya Nini Gede Aki Gede beserta keluarganya diusir dari Banyumas. Lalu ia berkelana ke arah barat beserta keluarga dan sanak saudaranya, ia menyebrangi sungai (disebutlah hanjatan Cimanganti). Lalu tinggal di suatu tempat dengan membuat satu rumah-satu bale-satu surau/mesjid (disebutlah Padepokan Karasanbaya). Lama kelamaan Nini Gede Aki Gede berpikir merasa khawatir padepokannya akan diketahui oleh Kangjen Sinuhun. Lalu ia menyuruh anak pertamanya Sang Prabu Lawangjagang untuk tinggal di padepokan tersebut yang terkenal dengan sebutan Kawasan. Sementara ia sendiri beserta rombongan keluarga lainnya terus melanjutkan pengembaraan ke arah barat, lalu ke selatan. Ngaso (istirahat) di suatu daerah (disebutlah Cikaso). Di situ ia membuat satu rumah-satu bale (terkenal dengan Sukalembah). Di Sukalembah ditinggalkan seorang anak bernama Mangun Naha Mana Manggala. Lalu Nini Gede Aki Gede berkelana lagi.

Di Bojonglekor ia menyimpan satu putra bernama Sang Prabu Mangun Ciker dengan dibuatkan satu rumah-satu bale. Kemudian ke Bubulak Karangsimpang dengan satu rumah-satu bale. Lalu pergi lagi, buatannya kini di tempat baru adalah satu rumah-satu bale ditambah satu sumur yang disebut Daerah Binangun.

Nini Gede Aki Gede pergi lagi meninggalkan Binangun untuk mencari daerah baru sebagai tempat untuk bermukim di Nagarawati, karena tidak ada yang kosong lalu kembali ke Binangun. Kemudian berturut-turut ke Bojongmalang, Sarakan, Cikadu, Cikadu, Cikawao, Cikagenah, Cipatahunan dan Gurago. Di Gurago Nini Gede Aki Gede menetapkan penghulu, kholifah dan perangkat-perangkatnya. Lalu pergi ke Cigugur.

Beberapa taun kemudian Nini Gede Aki Gede dipanggil Raja Sukapura Dalem Tamela untuk dimintai anaknya yang sudah dinikahkan sebelumnya. Alkisah permintaan tersebut sampai tujuh kali datangnya. Dan pada akhirnya permintaan tersebut dikabulkan dengan memberikan suatu wilayah kekuasaan kepada mantan menantunya dengan pemberian gelar Sembah Ragasang dan diperbolehkan membawa sembilan kuren keluarga.

Pergilah Sembah Ragasang beserta sembilan kuren rombongannya ke arah barat mengikuti jejak air mengalir, dan tiba di Panjalu kemudian ke Ciamis menemui saudara ibunya yang bernama Jang Pati, lalu terus ke arah barat menuju belantara hutan. Di sana lahirlah Sembah Ragadimulya. Lalu ke selatan, tiba di Mandala, Karangnini dan Jajawai.

Demikianlah kisah (cukcrukan galur sasakala) Cijulang yang kalau disimpulkan karena Nini Gede Aki Gede bolak-balik bagaikan air balikan di muara sungai. Tanda (ciri)-nya kalau sekarang adalah cai mulang (di Cijulang) yang terbendung air laut di sekitar Sungai Haurseah sebelah selatan. Demikan Aki Kursin mengakhiri kisah wawancaranya.


b. Situasi dan kondisi keberadaan Wilayah Situs Sumur Bandung di Binagun Cijulang pada masa lalu sampai sekarang

Situasi dan kondisi Situs menurut Endang, Mantan Pegawai Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Ciamis, mengatakan bahwa situs tersebut memiliki peningalan-peninggalan yang harus tetap dijaga dan dilestarikan, dengan situasi sekarang yang telah dilakukan penataan yang jelas jauh berbeda dengan keberadaannya yang lalu yang masih tertutup, walaupun demikian karena keterbatasan-keterbatasan dari pemeritah sendiri, terutama masalah pendanaan, maka dalam pengembangannya masih kurang.

Kemudian diungkapkan pula oleh Bapak Ikin Salikin Iskandar, S.Pd., selaku Seksi Pendidikan di Yayasan Al-Mutaqin yang keberadaan yayasannya berlokasi persis di Sumur Bandung menyatakan sebagai berikut.

Benar Sumur Bandung ini merupakan sebuah situs yang merupakan bukti sejarah masa lalu ketika Nini Gede Aki Gede berjaya. Dan dalam perkembangan selanjutnya, karena situs ini kurang perhatian dari pihak sejarawan, maka Bupati Ciamis Kolonel Hudli Bambang Aruman mengamankannya dengan cara membeli lokasi tersebut dari kepemilian generasi sebelumnya. Kemuan beliau mewakafkannya untuk kepentingan umum di tempat tesebut dengan dibuatkannya sebuah Mesjid Jame.

Lokasi Sumur Bandung tetap dipertahankan dan posisinya tetap dikondisikan di lingkungan mesjid tersebut tanpa perubahan ukuran. Yang terjadi adalah proses tembokisasi sesuai peruntukannya sebagai penunjang sarana beribadah. Warga sekitar menyebutnya sebagai wilayah Sembah Bontot, dan jalanpun dinamai Jalan Sembah Bontot.

Perkembangan selanjutnya, di lokasi Sumur Bandung dibangun sebuah Yayasan Al-Mutaqin dengan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan mesjid sebagai tempat syiar agama Islam di wilayah Binangun dan sekitarnya. Peresmian Yayasan Al-Mutaqin tersebut dilakukan oleh Bupati Ciamis Bapak H.Engkon Komara. Dan nama jalan pun diubah menjadi Jalan Hudli Bambang Aruman.

Selanjutnya Bapak Idayat Ruslan, budayawan Kasumba menuturkan bahwa situasi dan kondisi situs pada saat sekarang ini telah dipelihara dengan cukup baik, walaupun masih banyak kekurangan dalam hal sarana penunjang, namun demikian keaslian situs masih tetap terjaga, kalaupun terjadi proses tembokisasi itu semua dilakukan atas kesepakatan warga dalam upaya mengimbangi peranan situs tersebut dalam kemanfaatannya bagi warga sekitar.

Seterusnya Bapak Ellon, selaku Kepala Dusun Binangun mengatakan bahwa situasi dan kondisi situs sekarang ini lebih baik dibandingkan waktu lalu, misalnya pembenahan jalan menuju lokasi sudah cukup baik, sedangkan pengelolaannya sendiri diserahkan kepada Juru Kunci (Kuncen) bekerjasama dengan Pengurus DKM Al-Mutaqin, namun demikian diakui pula bahwa masih banyak kekurangan disana-sini dalam penataannya. Hal itu ditambahkan pula keterangan dari Ketua Yayasan Al-Mutaqin, Bapak Wawan Kustaman, S.Pd., yang menyatakan bahwa selain dilihat dari sarana dan prasarananya yang tidak menunjang dan penataannya kurang baik, secara prosedural, penggalian potensi dan pemanfaatannya bagi kepentingan umum serta kekayaan alam yang ada di dalamnya dalam pengelolaannya diserahkan kepada kuncen, adapun bila ada pemasukan dari hasil kekayaan tersebut, diberikan kepada kuncen sebagai upah secara tidak langsung dari pemerintah.

Dari beberapa pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa situasi dan kondisi situs lebih baik dari waktu-waktu yang lalu, walaupun masih banyak kekurangan di sana-sini terutama dalam hal pembangunan sarana dan prasarananya. Pengelolaannya sendiri diserahkan kepada juru kunci dan pengurus DKM yang bekerjasama dengan Pengurus Yayasan, namun demikian tidak terlepas dari perhatian pemerintah dan tetap berkoordinasi.

Kasi Sejarah dan Kepurbakalaan Disbudpar Kabupaten Ciamis menyatakan bahwa keberadaan obyek-obyek peningalan sejarah dan kepurbakalaan sebagai sumber sejarah perlu dilestarikan antara lain dengan inventarisasi, dokumentasi, katalogisasi, konservasi, pemugaran, pemeliharaan dan perlindungan hukum terhadapnya. Menurut penuturannya upaya pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilakukan pemerintah diantaranya yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan “Barang siapa yang dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situ serta lingkungannya atau membawa, memindahkan benda cagar budaya tersebut tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda seitnggi-tingginya Rp. 100.000.000 (seratur juta rupiah)”. Kemudian pasal 27 yaitu “Barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dan cara penggalian, pengalaman, pengangkatan atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan dimaksud Benda Cagar Budaya disingkat dengan BCB adalah benda buatan manusia bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagiannya yang berumur sekarang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Dengan undang-undang tersebut berarti pemerintah telah mulai memperhatikan dan turut melestarikan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan situs ataupun benda cagar budaya, selain sebagai khasanah ilmu pengetahuan yang berharga juga merupakan peninggalan budaya masa lampau yang dianggap mewakili zamannya.

Selain itu juga dilakukan pembinaan dan arahan terhadap juru kunci (kuncen) yang telah dilegalitaskan sebagai pelestarian dan “pakem” (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), baik secara berkala atau dengan sistem door to door, yang disesuaikan dengan ketersediaan dana yang dimiliki pemerintah. Dan tetap ada koordinasi dengan pemerintah daerah setempat yaitu Kecamatan dan Desa.

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Camat Cijulang, dalam pelestarian situs tersebut selain mengacu kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 Pasal 26 dan 27 juga dilandasi dengan visi dan misi Kabupaten Ciamis 2004-2009. Dengan visi dan misinya yaitu “Dengan iman dan taqwa, Ciamis terdepan dalam Agribisnis dan Pariwisata di Priangan Tahun 2009”, dan dengan 5 (lima) misinya yaitu : 1) menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam agribisnis dan pariwisata; 2) mengembangkan jiwa kewirausahaan bagi aparatur pemerintah dan masyarakat; 3) mengembangkan jaringan kemitraan agribisnis dan pariwisata; 4) meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian serta menyelenggarakan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan; dan 5) menyelenggarakan kepemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa, memanfaatkan potensi sumber daya alam dan kelautan secara optimal dan lestari serta menegakkan supremasi hukum. Maka diharapkan peran aktif dari semua pihak dalam upaya pelestarian, pengelolaan dan pengembangannya.

Pada dasarnya upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap pengelolaan lokasi, dalam hal ini juru kunci yang berlaku.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Sesuai hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian yang lalu, maka pada bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hasil penelitian, sesuai dengan topik permasalahan yang akan diungkapkan sebagai berikut:

1. Pembahasan Sejarah Lisan tentang Keberadaan Wilayah Situs Sumur Bandug Binangun Kondangjajar Cijulang

Di antara pusat-pusat kekuasaan yang ada di daerah Cijulang yang terletak di Kecamatan Cijulang sekarang. Bekas pusat kekuasaan Nini Gede Aki Gede tersebut, sekarang dikenal dengan nama Situs Patilasan Nini Gede Aki Gede Sumur Bandung. Warga sekitar menyebutnya Sumur Bandung Binangun.

Tempat ini dulunya merupakan daerah persinggahan Nini Gede Aki Gede yang sedang berkelana akibat perseteruan dengan Raja Banyumas. Perkiraan waktunya adalah sebelum Kerajaan Galuh berjaya di bawah tampuk pimpinan Maharaja Sanghiyang Cipta yang memerintah antara tahun 1580 – 1595 yang kemudian dilanjutkan oleh putrinya yaitu Prabu Cipta Permana tahun 1595 – 1618, dan pada sekitar tahun 1595 itulah terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dan berpengaruh bagi masyarakat Galuh, yaitu masuknya agama Islam ke Tatar Galuh yang dibawa oleh Tanduran Di Anjung yaitu Putri Kawali bawahan Cirebon yang kemudian diperistri oleh Prabu Cipta Permana yang kemudian memeluk Islam. Jadi dapat dikatakan bahwa Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh merupakan raja Galuh terakhir yang memeluk Hindu, dan Prabu Cipta Permana adalah raja pertama Galuh yang memeluk Islam.

Kerajaan galuh pada awalnya merupakan daerah bawahan kerajaan Tarumanegara yang telah berdiri pada abad ke-5 M. Kerjaan Galuh didirikan oleh Writekandayun pada awal abad ke-7 M. Pada awal tahun 670 M, Galuh menjadi kerajaan mandiri dan terlepas dari kekuasaan kerajaan Tarumanegara, yang berarti telah menjadi kerajaan Sunda. Wilayah kerajaan Galuh pada waktu itu telah meliputi daerah yang berada di sebelah timur sungai Citarum.

Setelah berdiri sendiri, kerajaan Galuh memiliki hubungan dengan kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Hubungan tersebut didasarkan atas ikatan perkawinan (perkawinan politik) antara putra mahkota Galuh dengan putri mahkota Kalingga. Hubungan antara Galuh dengan Kalingga memberi keuntungan bagi Galuh. Tempat-tempat yang memakai nama Galuh, yaitu Raja Galuh (Majalengka), Galuh (Purbalingga), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Buniaya), Sagaluh dan sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Ujung (Hujung) Galuh di Jawa Timur, bisa saja merupakan tempat-tempat yang pernah di kuasai Galuh.

Pada saat Galuh diperintah oleh Rahyang Sanjaya (723-732), kerajaan Galuh disatukan dengan kerajaan Sunda. Hal itu disebabkan karena Sanjaya menjadi menantu Raja Sunda Maharaja Tarusbawa yang kemudian diberikan kekuasaan untuk memerintah. Sampai pada saat pemerintahan Rahyang Tamperan, anak Sanjaya, Pusat Kota Galuh ada di Galuh (Karangkamulyan sekarang). Pada saat pemerintahan Rahiyang Banga, anak Tamperan, pusat kerajaan pindah ke Pakuan Pajajaran. Pada waktu yang sama di Galuh tetap ada pemerintahan kerajaan.

Dalam abad ke-14 sampai akhir abad ke-15 M, pusat kerajaan Sunda-Galuh berada di Kawali (Astana Gede Kawali sekarang). Di tempat tersebut didirikan keraton yang diberi nama Surawisesa. Selama pusat kerajaan berada di Kawali, kerajaan Sunda-Galuh diperintah oleh raja secara turun temurun, mulai dari Linggadewata (1311-1333) sampai pada Dewa Niskota (1475-1482). Pada waktu pusat kerajaan berada di Galuh dan di Kawali, kerajaan Sunda-Galuh mencapai puncak kejayaannya. Pada waktu itu Galuh sangat terkenal dan diagung-agungkan, karena kerajaannya meliputi wilayah kekuasaan yang sangat luas. Bisa disebutkan pada waktu itu Galuh menjadi “galeuh”-na Tatar Sunda (Permata di Tatar Sunda).

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Pusat kerajaan pindah kembali ke Pakuan Pajajaran. Semenjak itulah, bisa dikataka kerajaan Galuh pisah kembali dengan kerajaan Sunda (Sunda-Pajajaran). Pusat kerajaan Galuh pindah kembali ke Galuh. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579 oleh serangan pasukan Banten dalam rangka penyebaran agama Islam. Sedangkan kerajaan Galuh tetap berdiri, diperintah oleh Prabu Sanghiang Cipta di Galuh (1580-1595), anak Prabu Haurkuning, Perkara keberadaan Prabu Haurkuning, masih belum jelas, karena sedikitnya keterangan mengenai Prabu tersebut. Bisa jadi Prabu Haurkuning memerintah Galuh sezaman dengan pemernitahan Nusiya Mulya (1567-1579), raja Sunda-Pajajaran yang terakhir. (Jurnal Gentre Galuh, Nopember 2006 : 11-12), dalam bahasa Sunda.

Pada abad ke XVI, masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata (1527 – 1535) cucu Prabu Siliwangi, daerah Jawa Barat bagian Utara mulai jatuh ke tangan Fatahillah (Faletehan) seorang panglima Demak, sehingga pusat Kerajaan Pajajaran terputus hubungan dengan Laut Jawa yang merupakan salah satu perairan penting bagi kepulauan Indonesia. Dalam melakukan kegiatan itu semakin bertujuan untuk mencegah meletusnya pengaruh Portugis ke Jawa Barat, Fatahilah juga mengembangkan ajaran agama Islam di Jawa Barat.

Fatahillah kemudian menyerahkan tugas untuk menjalankan pemerintahan di Banten kepada putranya yaitu Hasanuddin, sedangkan Fatahillah sendiri yang juga dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati telah memilih sebagai tempat kedudukannya ialah Cirebon. Dari Cirebon ini Fatahillah pada tahun 1530 telah mengembangkan pengaruhnya ke daerah-daerah yang terletak sebelah selatan yaitu Telaga, Kuningan, dan Galuh dalam rangka usaha penyebaran Islam. Dalam usaha ini Fatahillah tidaklah seorang diri, tapi dengan bantuan orang-orang kepercayaannya yang mempunyai cukup pengetahuan tentang agama dan pemerintahan.

Setelah Pakuan Pajajaran runtuh, suatu pusat kekuasaan penting yang berdiri di daerah pedalaman Jawa Barat ialah Sumedang Larang, dibawah pemerintahan Gesan Ulun yang daerah kekuasaannya sebelah barat dibatasi Cisadane dan sebelah Timur dibatasi Cipamali, tetapi dalam kenyataannya daerah bekas pusat kekuasaan Sumedang Larang, Cirebon dibawah pemerintahan Panembahan Ratu atau Pangeran Girilaja yaitu cicit dari Fatahillah (Naskah Penulisan Sejarah Galuh, 1983: 33 – 34)

Berita tentang Galuh berasal dari tahun 1595, yaitu menyatakan bahwa sejak tahun itu Galuh mulai termasuk dalam pengaruh kekuasaan Mataram.

Nama Galuh muncul lagi karena permintaan Ratu Inten Kedaton istri kedua Prabu Siliwangi yang ingin menjadi Ratu Galuh yang menguasai kerajaan kecil (semacam kandaga lante) tempat Pangauban (perlindungan). Akhirnya janji ditepati dan tempat dipilihnya antara Sungai Cipamali dan Sungai Cisanggarung. Tapi akhirnya Ratu Galuh itu hanya sesebutan saja karena tidak punya negara.

Akhirnya menurut suatu kisah setelah pindah dari daerah Cisanggarung ke daearah aliran Sungai Citanduy, (sekarang kira-kira daerah Ciputrapinggan) baru kerajaan Galuh Pangauban yang dirancang oleh Pucuk Umum dibangun oleh Kamalarang dibantu oleh masyarakat Pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari laut sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 deupa persegi (sekitar 1,2 m).

Sekelilingnya dipagar tanaman Haur Kuning yang berduri, sebelah Utara dibuat alun-alun yang luasnya 50 deupa persegi, disebelah Selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa persegi.

Bangunan keratonnya sangat sederhana rangka hanya terbuat dari kayu campur bambu dan atapnya terbuat dari kirai. Disebelah barat ada mata air yang jernih sekali sedangkan sebelah tenggaranya didirikan tujuh rumah untuk para menteri dan pegawai negara yang penting.

Disekitar rumpun haur dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat Bagolo serta Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia kepada Prabu Haur Kuning dalam membangun pusat Galuh Pangauban. (Djadja Sukardja, 1999: 1-2)

a. Angkalarang

Angkalarang adalah anak dari penguasa Pabuaran yang bernama Banyak Citra. Ketika kecil sudah memperlihatkan keanehan yaitu bisa bergaul dengan binatang-binatang yang buas dan berbahaya seperti ular dan sebangsannya. Pada suatu hari Angkalarang oleh ayahnya dimarahi agar jangan main dengan binatang, tapi harus mencari ilmu untuk menguasai pimpinan pengganti ayahnya.

Ternyata Angkalarang tidak menerima pepatah ayahnya bahkan akhirnya Angkalarang berangkat meninggalkan kampung halaman tanpa arah tujuan. Setelah beberapa hari pergi akhirnya sampai ke Kerajaan Siluman di tempat ini Angkalarang mendapatkan jodoh putri Raja Siluman yang bernama Megasari sehingga mendapat keturunan menurut silsilah di bawah ini.

ANGAKALARANG X MEGASARI



   

MEGALARANG X SITI SAMBOLA



   

KAMALARANG

Angkalarang setelah menikah dengan Megasari pulang ke kampung halamannya menemui ayah dan ibunya yang sudah tua tapi masih hidup. Dalam pertemun itu Angkalarang oleh ayahnya dinobatkan sebagai penggati menjadi penguasa Negara Pabuaran dengan gelar Ki Kabuaran karena toleran ke rakyat yang menganut agama Islam maka Ki Kabuaran pada penobatannya diganti dengan Sunan Kabuaran.

Sebenarnya Angkalarang setelah kawin dengan Megasari oleh mertuanya diberi kedudukan untuk menjadi raja di tempat itu tapi Angkalarang memilih pindah ke Pabuaran dan menjadi Syah Bandar Pabuaran di tepi Sungai Cisanggarung.

Pada akhirnya setelah lama di Pabuaran, Angkalarang menyempatkan diri berkunjung ke orang tuanya atas dasar saran istrinya. (Djadja Sukardja, 1999: 2-3)


b. Ambetkasih

Ambet Kasih adalah putra Prabu Siliwangi dari istri ke-2, yaitu Inten Kendaton. Beliau disebut Ratu Lalayaran karena pernah ikut berlayar mengarungi lautasn menuju Malaka bersama ibunya, untuk berdagang dan mengetahui keadaan Agama Islam di Malaka. Selama di Malaka Ambet Kasih berkenalan dengan Jabaranta putra Datuk Saleh yang selanjutnya di jawa dikenal dengan Syeh Lemah Abang atau Siti Jenar. Pada waktu Ambet Kasih disandera oleh Saudagar Baridin untuk dipaksa dijadikan istrinya ternyata dapat pertolongan dari Angkalarang yang waktu itu sedang jadi Syah Bandar Pelabuan Pabuaran. Pada waktu Angkalarang menolong Ambet Kasih kebetulan sudah duda karena ditinggal istrinya Megasari. Ambet Kasih sangat berterima kasih karena ditolong dari marabahaya dan akhirnya keduanya jatuh cinta dan menikah sehingga mendapat keturunan sebagai berikut:

ANGKALARANG X AMBET KASIH


1. PUCUKUMUM X KEMBANG TANJUNG

2. RATU MAN AH DEWA

3. SUNAN GUNTUR

PRABU HAUR KUNING

(Djadja Sukardja, 1999: 3)

c. Pucuk Umum

Pucuk Umum adalah putra Ratu Lalayaran dari perkawinan dengan Sunan Kabuaran yang pada waktu kecil dititipkan di Eyangnya di Pajajaran untuk mendapatkan pendidikan kenegaraan. Pucuk Umum selain mendapat ilmu dari eyangnya (Prabu Siliwangi) juga mendapat didikan rohani dari Kasan Ali Rakean (Jabarata) = Syeh Siti Jenar. Pada tahun 1516 M Prabu Pucuk Umum pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari Demak atas perintah Raden Patah walaupun bantuan itu tidak sampai ke Malaka hanya sampai ke Palembang karena ada yang memberi tahu dari utusan Patih Yunus bahwa perang di Malaka sudah beres dengan kata lain Pucuk Umum telah membantu Demak dalam penyerangan Bangsa Portugis yang ada di Malaka walaupun dibalas dengan ketidakadilan. Selain itu Pucuk Umum pernah diajak oleh orang-orang Islam dan diangkat menjadi pimpinan karena Pucuk Umum simpati sekali kepada ajaran Islam termasuk ke rakyat-rakyat yang beragama Islam. Tapi Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi pimpinan Islam karena alasannya harus menyerang kerajaan Pajajaran sedangkan Pajajaran itu adalah eyangnya. Nasib Pucuk Umum yang gagah berani akhirnya tidak diketahui sebab sewaktu akan pindah ke daerah pakidulan bersama ibunya pada malam harinya di Darma Pucuk Umum bersama istrinya ketika akan naik kuda diserang oleh pasukan Islam diculik ke Cirebon dirayu untuk jadi pimpinan tapi oleh Pucuk Umum ditolak dan akhirnya Pucuk Umum dibuang ke Ujung Kulon bersama istrinya. (Djadja Sukardja, 1999: 4)


d. Prabu Haur Kuning (1535 – 1580 M)

Pada waktu kecil disebut Ujang Ayem, adalah putra Pucuk Umum dari Kembang Tanjung. Sejak kecil sudah kelihatan bakat kepemimpinan serta mempunyai keanehan-keanehan terutama menjinakan binatang buas. Dalam suatu kisah diceritakan bahwa waktu kecil dibawa dalam pengungsian, karena ada serangan maka tertinggal oleh orang tuanya dan sekembalinya dari persembunyian sangat kaget karena anaknya tidak ada. ternyata setelah dicari kedapatan sedang menyusui pada kerbau bule dan seolah-olah dilindungi oleh kerbau yang memang tadinya pun Prabu Haur Kuning tidak menyusui ke ibunya, kebetulan susu ibutnya tidak berair, sedangkan pada waktu itu kerbau bule baru melahirkan ditinggal oleh anaknya karena mati, dan ternyata Prabu Haur Kuning mau disusukan oleh ibunya ke kerbau . Mungkin itulah sebabnya Ujang Ayem atau Prabu Haur Kuning bisa menjinakkan binatang buas. Ketilka masih kecil pernah diculik oleh orang-orang dikaki Gunung Ciremai yang ingin mempuyai (pimpinan) keturunan Prabu Siliwangi. Sebab onang-orang Hindu di sekitar itu diserang terus oleh pasukan Islam dari Cirebon, tetapi akhirnya Prabu Haur Kuning bisa selamat karena ditolong oleh ayahnya sendiri yaitu Prabu Pucuk Umum dan sebagji kenangan tempat yang dijadikan tempat penculikan Prabu Galuh (Haur Kuning) disebut Raja Galuh yang sekarang menjadi nama Kwadanan ada di daerah Utara kaki Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Majalengka.

Silsilah Keturunan Prabu Haur Kuning

PRABU HAUR KUNING X ………………………………

1. Maharaja Upama (di Putrapinggan)
2. Maharaja Cipta Sanghyang (di Galuh Gara Tengah)
3. Sareuseupan Agung (di Cihideung)

(cuplikan skripsi, hasil wawancara penulisnya: Epa Srimalendra dengan Bapak Latip Adiwijaya, Bsc., Kuncen Situs, tanggal, 5 Desember 2007 dengan identitas skripsi berjudul “SITUS PATILASAN SANGHIYANG CIPTA PERMANA PRABU DI GALUH TAHUN 1595-1618 M (Tinjauan Sejarah Lisan Mengenai Salah Satu Situs Kerajaan Galuh di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis)”, oleh EPA SRIMALENDRA, NIM. 2105040006. Tahun 2008.

e. Maharaja Cipta Sanghiang (1580 – 1595 M ).

Adalah putra Prabu Haur Kuning yang menjadi raja Galuh Gara Tengah dengan Gelar Maharaja Prabu Cipta Sanghiang Permana dan termisuk Raja Galuh terakhir yang beragama Hindu jasadnya dilarung di Ciputra Pinggan.

Pada acara melarung raja Cipta Sanghiang inilah hadir diantaranya raja daerah Ukur yaitu Lembu Alas ayahnya dipati Ukur yang datang dengan anaknya sehingga antara Dipati Ukur dengan Panaekan putra Cipta Pemana bersahabat serta sepaham dengan ayahnya begitu pula keluarga raja dari Kertabumi yaitu Tnd Gagang didampingi cucu-cucunya yang cantik-cantik.

Silsilah Keturunan Cipta Sanghiyang

CIPTA SANGHYANG X ………………………



   


1. Tanduran Ageung (Gagang) di Kertabumi)
2. Cipta Permana (di Galuh Gara Tengah)
3. Sanghyang Permana (di Kawasen)


f. Prabu Cipta Permana (1595 – 1618 M).

Ratu Galuh yang pertama masuk Islam karena beliau kawin dengan Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah penguasa Kawali yang beragama Islam karena Kawali mulai tahun 1570 M Sudah dibawah Cirebon.

Perlu diketahui bahwa sebelum th 1596 Cirebon belum terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud sebelah Utara sungai Citanduy ada dibawah kekusaan Cirebon termasuk Panjalu baru setelah tahun 1618 Mataram menjajah Galuh dengan dimulai pergantian gelar raja yang tadinya Bergelar Ratu atu Sanghyang diganti dengan gelar Adipati yaitu bupati dibawah jajahan Mataram. (Djadja Sukardja, 1999 : 12 - 6)

Silsilah Keturunan Prabu di Galuh (Cipta Pemana)

CIPTA PERTAMA X TANDURAN DI ANJUNG (Tanjung)



   

Ad Panaekan


g. Dipati Panaekan (1618 - 1625 M)

Panaekan adalah raja Galuh pertama yang mendapat gelar Adipati dari Mataram. Semasa muda, Dipati Panaekan bernama Ujang Ngoko. Dia adalah putra Raja Galuh Cipta Permana yang berkedudukan di Garatengah. Sahabatnya semasa muda adalah Ujang Taris putra Sahiyang Lembu Alas, penguasa Tatar Ukur. Ujang Talis inilah yang pada saatnya nanti akan bergelar Dipati Ukur, setelah dia menjadi penguasa Tatar Ukur, menggantikan ayahnya, Sang Lembu Alas.

Kedua anak muda ini dibesarkan ketika negara-negara di Pasundan berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Setiap negara berlomba berebut, saling memperluas wilayah masing-masing. Kesultanan Cirebon terus mengembangkan Agama Islam disertai dengan perluasan wilayah. Namun tetap tidak mampu menembus kekuasaan Galuh. Kerajaan Sumedang terjepit oleh kekuasaan Cirebon, Banten dan Galuh. namun Prabu Geusan Ulun segera menjalankan siasat agar bisa menanam pengaruh di Galuh, yaitu dengan menikahkan putranya, Rangga Permana kemudian bergelar Prabu Di Muntur yang berkedudukan di Kertabumi, masih wilayah Kerajaan Galuh. Dengan demikian Prabu Geusan Ulun berhasil menempatkan putranya sebagai raja yang bisa dipengaruhi olehnya dan akan menjadi duri dalam Kerajaan Galuh.

Persahabatan Ujang Ngoko dan Ujang Talis semakin erat, karena mereka mempunyai pandangan yang sama terhadap situasi di Pasundan, apalagi setelah mereka menikah dengan putri-putri Tanduran Agung. Ujang Ngoko menikah dengan Nyi Natabumi. Ujang Talis menikah dengan Nyi Arwita. Adapun Nyi Natabumi dan Nyi Arwita ini mempunyai seorang kakak bernama Wiraperbangsa yang sangat pemberang dan sangat dipengaruhi oleh Rangga Gempol yang menggantikan Prabu Geusan Ulun.

Negara-negara di Pasundan terus berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Sementara itu, keberadaan para pedagang kulit putih di pantai-pantai semakin menggelisahkan raja-raja. Dalam menghadapi situasi yang semakain gawat tersebut, Prabu Cipta Permana mendidik dan melatih para pemuda Galuh dalam hal ketatanegaraan dan keprajuritan. Latihan para pemuda tersebut adalah Ujang Ngoko, yang dibantu oleh Wiraperbangsa, juga dibantu oleh Wiranangga dan Beraja Kasep putra Sanghyiang Permana, kakak Prabu Cipta Permana.

Pada tahun 1618, bersamaan dengan meninggalnya Prabu Cipta Permana, tibalah utusan dari Mataram yang disertai utusan dari Sumedang, yang mendesak agar Galuh menjadi bawahan Mataram. Sejak saat itulah gelar Sanghyiang, Raja, Prabu harus diganti dengan Dipati yang menandakan ketundukan pada Mataram.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itulah, Ujang Ngoko diangkat menjadi penguasa Galuh gelar Dipati Panaekan. Selain mesti memikirkan keadaan kerajaannya yang semakin surut, Dipati Panaekan juga semakin digelisahkan oleh kelakuan para pedagang kulit putih di pantai-pantai. Hal itulah yang menyebabkan dia semakin bersungguh-sungguh melatih para Jaga Baya dengan bantuan misalnya, Wiranangga, yang telah diangkat menjadi Mantri Jero, yang memendam ambisi pribadi untuk menggantikan Dipati Panaekan.

Ujang Talis, yang telah menggantikan ayahnya dan bergelar Dipati Ukur, singgah di Garatengah, dalam perjalanan pulang ke Tatar Ukur setelah menghadap Sultan Mataram bersama Rangga Gempol dari Sumedang. Dipati Ukur memaparkan titah Sultan Mataram yang menugasinya untuk menggempur Kompeni di Batavia. Karena kebencian yang sama terhadap Kompeni, Dipati Panaekan pun bersedia membantu Dipati Ukur dalam melaksanakan tugas tersebut.

Karena kesibukannya mempersiapkan pasukan untuk menyerbu Batavia, Dipati Panaekan tidak sempat menjenguk istri dan putra-putrinya yang berada di kediaman mertuanya, di Kertabumi. Hal ini dipersoalkan oleh Wiraperbangsa, kakak iparnya, yang menuduh Dipati Panaekan terlalu memanjakan istri mudanya, Nyi Tanduran Kuning. Hal tersebut disanggah oleh Dipati Panaekan yang sengaja berkunjung ke Kertabumi. Wiraperbangsa, dalam pengaruh yang sangat kuat dari Rangga Gempol, dan juga dihasut oleh Wiranangga, tidak setuju bila Batavia terialu cepat diserbu. Menurut pendapat Wiraperbangsa, yang sesungguhnya adalah pendapat Rangga Gempol, sebaiknya kerajaan-kerajaan di Pasundan bersatu dulu sebelum menyerang Batavia. Sedangkan menurut pendapat Dipati Panaekan, akan menyita waktu yang sangat lama bila hal itu dilaksanakan. Persatuan kerajaan-kerajaan di Pasundan justru akan terwujud demi sedikit, seising dengan rencana digempurnya Batavia. Perselisihan itu reda karena Dipati Panaekan dapat menahan diri.

Perselisiahan keduanya meledak lagi dalam sebuah acara perburuan di sebuah hutan, di sisi Sungai Cimuntur. Wiraperbangsa yang gelap mata menombak Dipati Panaekan hingga tewas. Jasadnya dilemparkan ke Sungai Cimuntur. Setelah kegemparan mereda, Wiranangga dan Beraja Kasep segera menyusuri Sungai Cimuntur untuk mencari jasad Dipati Panaekan yang ditemukannya di Patimuan, di muara pertemuan antara Sungai Cimuntur dan Citanduy. Pembunuhan yang menggemparkan ini terjadi pada tahun 1625 M. Sementara itu, Wiraperbangsa tidak mendapat hukuman apa-apa, karena kekuasaan Mataram belum sepenuhnya menjangkau wilayah Galuh.

Selanjutnya, Dipati Panaekan diganti oleh putranya, Ujang Purba yang kemudian bergelar Mas Dipati Imbanagara, yang pada waktu itu berumur 31 tahun. (Djadja Sukardja, 1999: 7-9)


h. Dipati Imbanagara (1625 – 1630 M)

Setelah 11 tahun memegang pemeritahan sebagai Adipati Galuh Gara Tengah mendapat tugas dari Sultan Agung penguasa Mataram untuk mengirimkan upeti berupa putri dari daerah Galuh sebanyak tujuh orang. Karena merasa sebagai bawahan yang taat kepada atasan maka dipersiakanlah tujuh gadis pilihan dari daerah Galuh. Sebelum dipersembahkan para gadis pilihan dari galuh itu diberi pengarahan serta diberi tatakrama bagaimana kalau berbakti kepada raja waktunya akan berangkat Putri-putri diberi pakaian dan diganti disuatu tempat yang sekarang tempat itu diberi Nama Panoongan Tempat Noong (melihat dari celah kecil) ketika para putri berpakaian.

Tetapi apa yang terjadi ketaatan seorang Adipati Galuh mengakibatkan terbunuhnya si pemberi karena ada yang hianat katanya Gadis yang diberikan sebanyak 7 orang salah satunya sudah tidak gadis lag! yaitu telah tercemar padahal sebetulnya tidak demikian.

Pada suatu hari datang utusan Mataram yang dipimpin tumenggung Narapaksa datang ke Kertabumi lalu memanggil Adipati Imbanagara dan akhirnya bertemu disuatu tempat yang sekarang tempat itu adalah kampung Bolenglang desa Kertasari.

Pada pertemuan itu terjadi dialog antara Utusan dari Mataram yang dipimpin oleh tumenggung Narapaksa dengan Dipati Imbanagara Raja Galuh Garatengah yang sangat sedih sekali karena Dipati Imbanegara rela sepenuh hati untuk dipenggal kepalanya asal betul itu adalah perintah Sultan karena kalau tidak dilaksanakan akan beakibat buruk kepada yang diutus.

Setelah menyakan kepada Narpaksa bahwa itu adalah perintah Sultan walaupun Narapaksa tidak langsung menerima perintah dari Sultan tapi hanya perintah dari Mangkubumi tapi kerena Dipati Imbanegara hanyalah bawahan maka beliau sadar bahwa perintah itu harus dituruti dengan syarat untuk pelaksanaan ini hanya berdua tapi anjing kesayangannya agar turut dibunuh.

Setelah dipenggal Kepalanya lalu kepalanya dibawa ke Mataram tapi Rakyat Gara Tengah setelah mengetahuinya lalu menyusul dan ketika akan menyeberang Sungai Citanduy terjadilah perebutan Kepala Dipati Imbanagara dan jatuh Ke Sungai Citanduy di Leuwi Paten dan Kepala Ad. Imbanegara tidak diketemukan.

Jasad badannya di kuburkan ditempat kejadian begitu pula Anjing kesayangannya dikuburkan berdampingan dan Tempat itu sekarang bernama Bolenglang desa Kertasari kecamatan Ciamis. (Djadja Sukardja, 1999: 11 – 12)

Ketika Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh tampil penguasa kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga 1595 Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas (Dadan Wildan, 2005: 72)

Maharaja Sanghiyang Cipta Permana Di Galuh merupakan raja galuh terakhir yang beragama Hindu dan setelah meninggal jasadnya dilarung di Ciputra Pinggan.

Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh memiliki tiga orang putra, yaitu Tanduran Ageung (Gayang) di Kertabumi; Cipta Permana (di Galuh Gara Tengah); Sanghiyang Permana (di Kawasen).

Prabu Cipta Permana masuk Islam karena beliau menikah dengan Tanduran Tanjung Putri Maharaja Mahadikusumah (Tanduran Di Anjung) penguasa Kawali yang bergama Islam, karena Kawali mulai tahun 1570 M sudah dibawah kekuasaan Cirebon (H. Djadja Sukardja, 1999: 5 – 6).

Menurut cerita tradisi masuknya Islam ke Galuh dihbungkan dengan seorang tokoh yang berama Apun Di Anjung atau Pangeran Mahadikusuma yang kemudian dikenal dengan nama maharaja Kawali, tokoh ini merupakan ulama yang mendapat kepercayaan dari Kerajaan Cirebon yang menjadi raja di galuh pada masa itu ialah Maharaja Cipta Sanghiyang Di Galuh dengan putra mahkotanya Ujang Ngekel. Ujang Ngekel mempunyai hubungan khusus dengan Tanduran Di Anjung, yaitu Putri dari Maharaja Kawali. Kawali memberitahukan akan hal ini kepada Sultan Cirebon, mengingat bahwa putra mahkota tersebut belum memeluk agama Islam. Kemudian Sultan Cirebon memanggil Putra Mahkota tersebut, dan terjadi pembicaraan yang akhirnya Putra Mahkota Galuh bersedia memeluk gama Islam. Walaupun demikian Sultan Cirebon memberikan toleransi kepada Putra Mahkota Galuh dengan tidak melarang melakukan adat kebiasaan menurut kepercayaan asli Galuh (naskah Penulisan Sejarah Galuh, 1983: 36).

a. Kawali Sebagai Pusat Kerajaan Sunda Galuh.

a) Ratna Umi Lestari (1333 – 1340 M).

Ratna Umi Lestrai adalah putri Linggadewata raja Sunda Galuh ke XXI, yang kawin dengan Prabu Sang Ajiguna Linggawisesa. la mejadi raja Sunda Galuh ke XXII dengan pusat pemerintahan di Kawali, keratonya disebut Surawisesa.

Linggawisesa disebut sang Mokteng Keding karena wapat di Keding Punya anak tiga :

a) Ragamulya

b) Dewi Kiranasari

c) Prabu Suryadewata yang menurunkan raja-raja di Talaga (Majalengka )

b) Prabu Ragamulya (Sang Aki Kolot) (1 340 – 1350 M).

Putra pertama Sang Ajiguna Lingga Wisesa sebagi raja Sunda Galuh ke 23 yang berpusat di Kawali. Didalam pantun sunda Ragamulya disebut Prabu Banyaklarang. Punya anak dua :

a) Linggabuana

b) Bunisora

c) Prabu Linggabuana (Prabu Banyakwangi). l350 - 1357 M

Putra petama Prabu Ragamulya, sebagai raja Sunda Galuh ke 24 yang kawin dengan Dewi Laralinsing dan punya anak 3 orang :

a) Diah Pitaloka (Citraresmi)

b) Wastukancana

c) Ratna Parwati

Beliaulah yang mempertahankan harga diri orang Sunda dari pad; hinaan patih Gajah Mada, beliau memilih mati ( Dalam perang Bubat) dar dari sinilah namanya harum sehingga Prabu Linggabhuana mempunya gelar Prabuwangi. Nama-nama kepulauan Sunda Besar, Sunda Keci serta Laut Sunda dan Selat Sunda merupakan penghargaan bagi raj^ Sunda Galuh yang berkedudukan di Kawali yang nama-nama iti sekarang hanya menjadi kenangan karena sudah diganti. (Djadja Sukardja, 1999: 28-29)

d) Sang Bunisora (Batara Resi Guru Jampang) (1357 – 1371 M)

Dikenal dengan sebutan Mangkubumi Suradhipati yang menjabat raja Sunda Galuh ke 25, menikah dengan Dewi Laksmiwati punya anak 4 Orang :

a) Giri Dewata yang kemudian disebut Gedeng Kasmaya yang kelak menjadi Ratu Cirebon Girang karena kawin dengan Ratna Kirana putri Ratu Carbon Girang.

b) Bratalegawa menikah dengan wanita Gujarat dan menjadi haji Baharudin atau haji Purwa sedangkan cucunya bernama St Hadijah diperistri oleh Sech Datuk Kahfi.

c) Ratu Banawati.

d) Ratu Mayangsari yang diperistri oleh Wastukancana.

Sang Bunisora adalah adik Linggabuana, semasa jabatannya mempersiapkan pelantikan Prabhu Niskala Wastukancana dengan membuat Mahkota dari Emas yang diberi nama (Binokasih Sanghyang Pake) sekarang masih ada tersimpan di Museum Geusan Ulun Sumedang.

Beberapa pendapat para akhli Bunisora diindetikan dengan Boros Ngora (Raja Panjalu) sebagai ayah dari Prabu Hariang Kancana yang pindah ke Jampang Kulon (Banten).

Anak putrinya yang bernama Mayangsari dikawin oleh Niskala Wastukancana sedangkan putranya yang bernama Gedeng Kasmaya menjadi Ratu Cirebon Girang dibawah lereng Gunung Ciremai. (Djadja Sukardja, 2007)

Menurut cerita, Bunisora disemayamkan di Gegeromas yang oleh orang Ciomas dikenal dengan makam Dalem Panghulu Gusti. (Djadja Sukardja, 2007: 29-30)

e) Prabu Niskala Wastukancana ( 1371- 1475 M ).

Di dalam pantun Sunda disebut Prabu Mundingkawati adalah putra Linggabuana adiknya bernama Diah Pitaloka atau Citraresmi yang ikut gugur dengan ayahnya pada perang Bubat ( Pasundan Bubat).

Prabu Niskala Wastukancana menjadi raja Sunda Galuh ke 26 cukup lama (104 tahun) dan diberi umur panjang yaitu 114 tahun, pada masa beliaulah pembuatan prasasti-prasasti yang sekarang berada di Situs Astana Cede Kawali.

Menurut buku carita Parahiyangan beliau dimakamkan di Nusa Larang (Situ Lengkong). Sebagian pendapat beberapa ahli sejarah ada yang mengatakan Prabu Niskala Wastukancana identik dengan Prabu Hariang Kencana sebagi Embah Panjalu yang sekarang banyak dikunjungi oleh penziarah Napak Tilas Para Wali, bahkan menurut Gusdur Embah Panjalu itu adalah Sayit Ali Bin Muhammad Bin Umar.

Prabu Niskala Wastukancana menikah dengan Lara Sarkati putri Resi Susuk Lampung, punya anak satu orang yaitu Haliwungan sedangkan dari Mayangsari putri Bunisoran punya anak lima orang :

a) Ningrat Kancana : Sebagai Mangkubumi di Kawaii dengan gelar mangkubumi Surawisesa lalu menjadi Raja di Galuh di Kawali dengan gelar Dewa Niskala .

b) Ki Ageng Surawiiava Sakti : menjadi menantu Gedeng Kasmaya diangkat menjadi Penguasa Singapur dan wapat tanpa anak.

c) Gedeng Sindangkasih : Diangkat di Sindangkasih menjadi Syahbandar putrinya yang bernama Ambet Kasih diperistri oleh Jayadewata putra Dewaniskala.

d) Nay Lara Ruda : Tinggal di Lemahputih dan menjadi istri saudagar kaya dari Campa yang bernama Dampu Awang.

e) Gedeng Tapa : Menggatikan kakanya sebagai penguasa Singapur sekaligus menjadi Jurulabuhan Muara Jati yang menguasai sepanjang pesisir yang disebut Cirebon Larang. Sepeninggal Rahyang Niskala Wastukancana Sunda Gaiuh dipecah menjadi dua kerajaan yaitu :

(1) Galuh Pakuan yang berpusat di Kawaii diberikan kepada Dewa Niskala

(2) Sunda Pakuan yang berpusat di Bogor diberikan kepada Susuk Tunggal putra Rahyang Niskakala Wastukancana dari selir. (Djadja Sukardja, 2007: 30-31)

f) Ningrat Kancana (Dewa Niskala) (1475 – 1484 M).

Dewaniskala yang dalam babad Cirebon disebut Prabhu Anggalarang berselisih dengan kakakya Susuk Tunggal Raja Sunda yang berpusat di Bogor karena Rahyang Dewaniskala menikah dengan putri Wilwatikta (Majapahit).

Perselisihan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh ayahnya, keduanya agar turun tahta, kerajaan diberikan kepada anak-anaknya yaitu anak Rahyiang Dewaniskala yang bernama Prabhu Guru Dewataprana sedangkan anak Susuk Tungal adalah Mayang Sunda (Kentring Manik) lalu dikawinkan.

Prabu Guru Dewataprana pindah dari Kawaii ke Bogor, menyatukan lagi Kerajaan Sunda Pakuan dengan Galuh Pakuan yang diberi nama Kerajaan Pajajaran dengan Gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Pakuwan Pajajaran Sri Sang Ratudewata. (dalam pantun Sunda disebut Prabu Siliwangi).

Tahun 1484 M, pusat kerajaan Galuh Pakuan di Kawaii di tinggalakan dan Kawaii menjadi Kerajaan kecil dibawah Pajajaran dengan menempatkan adiknya yaitu Jayadiningrat yang tidak lama di kuasai oleh Cirebon.

Sunda Galuh terpecah menjadi dua ;

1) Galuh Pakuan berpusat di Kawali dengan raja Dewa Niskala.

2) Sunda Pakuan berpusat di Bogor dengan raja Susuk Tunggal

Galuh dan Sunda bersatu lagi menjadi Kerajaan PAJAJARAN (Djadja Sukardja, 2007: 28 - 32)

b. Penguasa dan Bupati Kawali

1) Prabu Jayadiningrat (1484 – 1528 M)

Masih Saudara Prabu Siliwangi sepeninggal beliau Kawali diberikan kepada adiknya tapi tidak seibu sedangkan adiknya satu lagi yang bernama Kusumalaya atau Anjar Kutamanggu, memilih pergi ke Talaga untuk menolong putri Talaga yang bernama Sibarkencana yang sedang bingung karena ayahnya yang bernama Talaga Manggung ada yang membunuh. Pembunuhan terungkap oleh kerja keras Anjar Kutamanggu dan ternyata yang membunuhnya adalah patih Centang Barang atas suruhan Palembang Gunung (suami Ratu Sibarkancana). Anjar Kutamanggu akhinya menjadi suami Ratu Sibarkencana. (Djadja Sukardja, 2007: 32)

2) Pangeran Dungkut (Lungkut) 1528 – 1575 M

Pangeran Dungkut adalah Putra raja Kuningan yang bernama Lalangbuana, bersaudara dengan putri Mayang Kuning dan Masang Sari. Ditugaskan oleh Kesultanan Cirebon menjadi penguasa Galuh Kawali penggati Jayaningrat setelah Jayaningrat menyerbu Cirebon tetapi kalah di medan perang Gunung Gundul Palimanan.

Pada waktu itu Cirebon sudah menjadi Kerajaan Islam dan mulai menyebarkan pengaruhnya kepedalaman termasuk Kawali yang setelah ditinggalkan oleh Prabu Siliwangi menjadi kerajaan Kecil (Kandaga Lante), yang dipimpin oleh Prabu Jayaningrat ini terjadi sekitar tahun 1528 M. Makam di Desa Winduraja. (Djadja Sukardja, 2007: 32-33)

3) Pangeran Bangsit : (1575 – 1592 M)

Pangeran Bangsit disebut juga Mas Palembang, adalah putra pangeran Dungkut, mempunyai putra dua yaitu Endang Satwika dan Mahadikusumah, yang melanjutkan pemerintahan menggatikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di Daerah Kawali. (Djadja Sukardja, 2007: 33)

4) Pangeran Mahadikusumah/Rd. Kungkut/Apun Di Anjung : (1592 – 1643 M ).

Putra Pang. Bangsit. Putri pertamanya yang bernama adi Dampal kedua Apun Emas diperistri oleh Raja Panjalu yang bernama Hariang Natabaya sedangkan putri ketiganya yang bernama Tanduran di Anjung (Orang Cimaragas menyebutnya Sunan Nganjung Tatali Pinunful) di titipkan di Sultan Cirebon (anak angkat), dan setelah dewasa diperistri oleh Prabu Cipta Permana penguasa Galuh Salawe (Cimaragas) yang masih Hindu, sehingga raja Galuh ini masuk agama Islam dan seterusnya Raja-raja Galuh Gara Tengah beragama Islam. Makam di desa Winduraja Kawali.

5) Pangeran Usman : 1643 M

Pangeran Usman penyebar Agama Islam di daerah kerajaan Kawali, Keturunan kerabat Cirebon yang menikah dengan salah satu putri Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah).

Pangeran Usman yang mempunyai ide agar tempat pemujaan Hindu yaitu situs Kawali dijadikan pemakaman dan beliulah yang pertama di makamkan di situs Kawali.

Selajutnya pemikiran itu deteruskan oleh Raja yang bernama Adipati Singacala yang membongkar punden berundak untuk dijadikan makam , sehingga Situs kawali tempat pemujaan Hindu yang terkenal dengan nama "Sanghyang Lingga Hyang" sebagai peniggalan Hindu yang berisikan Yoni, Menhir, Prasasti - prasasti dan peningalan agama Hindu lainya berubah dan terkenal menjadi nama "Astana Cede" yang mengandung arti disana ada makam gegeden yaitu Raja Kawali Adipati Singacala yang memerintah sekitar tahun 1643 s/d tahun 1718 M. Makamnya ada di Astana Gede Kawali.

6) Dalem Adipati Singacala : (1643 – 1718 M)

Putra Adidempul Cicit Pangeran Bangsit menjadi menantu Pang. Usman karena menikah dengan Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman. Dikaruniai anak 3 orang yaitu

a) Satia Meta (Darma Wulan)

b) Bayu Nagasari

c) Ni Mas Bumi yang dikawin oleh Rd Adipati Angganaya Raja Galuh Imbanagara ke 3, menurut silsilah hari Jadi Kabupaten Ciamis.

Mulai saat itu sebutan Pangeran diganti dengan sebutan Dalem, karena. Kawali sudah berbentuk Kabupatian. Dimakamkan di Situs Kawali yaitu atas keinginanya agar Punden Berundak tempat pemujaan Hindu dibongkar dan dijadikan makamnya, sehingga orang datang ke situs Kawali bukan memuja kepada berhala tapi datang kemakam beliau, inilah salah satu taktik penyebaran Islam di daerah Kawali yang di dorong oleh mertuanya, sehingga sekarang situs Kawali dikenal dengan sebutan Astana Gede.

7) Dalem Satia Meta (Satya Merta) : (1718 – 1745 M).

Putra ke dua Adipati Singacala yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Darma Wulan Dimakamkan di situs Kawali

8) Rd. Adipati Mangkupraja I : (1745 – 1772 M).

Semejak itu beliau secara turun temurun memakai nama gelar Raden.

9) Rd. Adipati Mangkupraja II : (1772 – 1801 M)

Putra Dalem Adipati Mangkupraja I.

10) Rd. Adipati Mangkupraja III : (1801 – 1810 M).

Putra Dalem Adipati Mangkupraja II, pada masa itu politik berubah, kompeni mulai masuk ke daerah-daerah seperti ke Galuh.

Beliau menjadi bupati terakhir Kabupaten Kawali, karena Kawali disatukan dengan Kabupaten Panjalu yang waktu itu dipegang oleh Rd Tmg Cakranagara III dibawah kesultanan Cirebon.

Selanjutnya di Kawali dipegang oleh penjabat berpangkat Tumenggung yang menginduk ke Kabupaten Panjalu.

Penjabat dimasa Kawali dibawah Kabupaten Panjalu

a. Rd. Tmg. Suradiprala I : (1810 – 1819 M).

Kawali bagian dari Kabupaten Panjalu menjadi kekuasaan Cirebon dibawah pengaruh langsung Sultan Kasepuhan (Negari Ageung) dirintis oleh Pemerintah Kompeni untuk dimasukkan pada wilayah administratif Kabupaten Galuh.

b. Rd. Tmg. Suradipraja II : (1819 M)

Putra Dim. Suradipraja I, memerintah hanya lima bulan saja, karena pada tahun itu juga Panjalu berikut Kawali disatukan dengan Kabupaten Galuh yang pusatnya di Ciamis sekarang.

Keterangan :

Panjalu, Kawali dan Rancah tahun 1819 resmi menjadi wilayah Tatar Galuh dengan ibu kota Ciamis sekarang, berada dibawah pemerintahan bupati Rd.Ad. Adikusumah yang memerintah tahun 1819- 1839 M. Beliau dimakamkan di Gunung Galuh/Gunung Yasa desa Sindangrasa Ciamis.

Perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1596 Cirebon belum terikat oleh Mataram, bahkan daerah Ciamis utara yang dimaksud sebelah Urtara Sungai Citanduy ada dibawah kekuasaan cirebon termasuk Panjalu, baru setelah tahun 1618 mataram menjajah Galuh dengan dimulai pengganti gelar Raja yang tadinya bergelar Ratu atau Sanghiyang diganti dengan gelar Adipati, yaitu Bupati dibawah jajahan Mataram. (H. Djadja Sukardja, 199: 6)

Setelah Maharaja Cipta Sanghiyang Di Galuh meninggal, dan jenazahnya dimakamkan di Pulau Pinggan (Bagolo), maka Ujang Ngekel sebagai putra mahkota naik tahta sebagai Raja Galuh yang berkedudukan di Gara Tengah (Cineam) dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana, yang didampingi oleh permasurinya yaitu Putri Tanduran di Anjung. Prabu Galuh Cipta Permana antara tahun 1610 – 1618 memerintah di Galuh Gara Tengah. Setelah Prabu Galuh Cipta Permana meninggal, jenazahnya dimakamkan di Salawe (Cimaragas). Adapun yang menggantikannya adalah putranya yang bergelar Adipati Panaekan (Naskah Penulisan Sejarah Galuh, 1983 : 37).


i. Nini Gede Aki Gede

Nini Gede Aki Gede keturunan dari Raja Banyumas Kangjen Sinuhun yang memiliki empat saudara, yaitu Sembah Jangpati (berkuasa di Ciamis), Sembah Jangraga (berkuasa di Karangsimpang), Sembah Jangsinga (berkuasa di Panjalu), dan Sembah Janglangas (berkuasa di Cijulang).

Nini Gede x Aki Gede

I

1. Sang Prabu Lawang Jagang2. Mangun Naha Mana Manggala

3. Sang Prabu Mangun Ciker

4. Putri Kakasih x Dalem Tamela (Raja Sukapura)

2. Situasi dan Kondisi Situs Sumur Bandung Cijulang pada masa lalu sampai sekarang serta peran dan fungsinya bagi masyarakat sekitar

Sumur Bandung di Binangun Cijulang memiliki peninggalan sejarah yang harus tetap dijaga dilestarikan. Situasi dan kondisi situs sendiri dalam penataannya telah lebih baik dibandingkan waktu-waktu yang lalu, walaupun dalam pengembangannya belum optimal, karena terbentur pada permasalahan dana yang dimiliki pemerintah dalam pengelolaannya, sehinga masih banyak kekurangan dalam sarana penunjang, termasuk publikasi dan sosialisasi.

Dalam hal pemanfaatan dari situs tersebut, diserahkan kepada pengurus DKM dan kuncen sebagai upah secara tidak langsung dari pemerintah. Termasuk pengelolaannya sendiri, situs tersebut diserahkan kepada Juru Kunci (kuncen) yang telah kiranya belum mendapat pembinaan dari pemerintah, khususnya Disbudpar sebagai dinas terkait.

Pada dasarnya tempat tersebut adalah sebagai tempat ziarah, wisata sejarah, pelestarian nilai-nilai budaya dan pelestarian ladat-istiadat warga setempat yang bila dikembangkan lebih baik maka bisa dijadikan sebagai aset daerah.

Sebagai tempat ziarah Sumur Bandung ini memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan, apalagi tempat ini memiliki potensi penting dalam sejarah Ciamis pada masa lalu, dan babak baru sejarah kemandirian kabupaten baru di Ciamis Selatan. (Hasil kajian Tim Unpad bagian akhir tentang Pembentukan Kabupaten Baru di Kabupaten Ciamis).

Sebagai tempat wisata tempat ini juga bila dikelola dengan baik berperan penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan sebagaimana tertuang dalam visi Kabupaten Ciamis. Penyelenggaraan kepariwisataan dapat berfungsi untuk meningkatkan pendapatan daerah dan masyarkat, mewujudkan azas pemerataan dalam pembangunan, penciptaan lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. (Rencana Stategik, Disbudpar Kab. Ciamis, 2004)

Pembangunan pariwisata dan kebudayaan perlu terus dikembangkan sebagai sumber pendapatan daerah yang dapat memberikan multiplayer efek terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan. Dalam pelaksanaan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Ciamis, tidak terlepas dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi Jawa Barat serta kebijakan Kabupaten Ciamis, beberapa kebijakan tersebut antara lain seperti tercantum dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Ciamis, yang berupa kebijaksanaan khusus menyangkut pengembangan kepariwisataan adalah :

1. Meningkatkan lapangan kerja, pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata.

2. Pengembangan dan penataan obyek wisata alam, obyek wisata budaya, maupun obyek wisata minat khusus.

3. Meningkatkan kegiatan promosi pariwisata baik di dalam maupun di luar negeri.

4. Meningkatkan pelayanan pariwisata dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan kepariwisataan disertai peningkatan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.

5. Meningkatkan kesadaran dan peran aktif masayarakat dalam kegiatan kepariwisataan melalui sadar wisata. (Rencana Strategik, Disbudpar kabupaten Ciamis, 2004-2009).

Kemajemukan kebudayaan daerah di Kabupaten Ciamis sebagai aset budaya daerah yang dapat dijadikan titik tolak perekat persatuan dan kesatuan dalam menciptakan otonomi daerah yang andal.

Sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan, ditunjukkan dengan masih adanya beberapa budaya asli warga masyarakat sekitar Desa Kondangjajar dan Kecamatan Cijulang yang masih dilestarikan dan dijalankan oleh masyarakatnya. Karakteristik masyarakat yang berbudaya luhur, berkehidupan agamis dan dinamis merupakan potensi yang menunjang terhadap pembaharuan dan pembangunan. Hasil pembangunan kebudayaan memberikan nilai tambah bagi setiap peningkatan dan pengembangan budaya yang berupa kesenian serta keselarasan dan keseimbangan kehidupan manusia dan masyarakat secara lahiriah dan batiniah (Rencana Strategik, Disbudpar Kab. Ciamis, 2004 – 2009)

Keberadaan obyek-obyek peninggalan sejarah dan kepurbakalaan perlu dilestarikan, antara lain dengan inventarisasi, dokumentasi, katalogisasi, konservasi, pemugaran, pmeliharaan, dan perlindungan hukum terhadapnya. Selain itu juga dilakukan pembinaan dan arahan terhadap masyarkat dan juru kunci (kuncen) yang telah dilegalitaskan sebagai pelestari dan “pakem” (pengawas aliran kepercayaan masyarkat), baik secara berkala atau dengan siste door to door yang disesuaikan dengan ketersediaan dana yang dimiliki pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian yang dapat dilakukan yaitu dengan melestarikan budaya dan adat istiadat Dusun Binangun tersebut dan juga melestarikan lingkungan alam situs tersebut, sehingga masyarakat adatnya dapat dibina dan diarahkan, sehingga diharapkan terjadi keseimbangan hidup.

2. Sejarah Cijulang dalam Konteks Mikro (Folklore: Berbahasa Sunda)

Katelah Ciiulang "NGADEG SORANGAN", hiji motto nu kungsi ngajeblag di alun-alun. Eta kecap teh horeng luyu jeung kaayaan masyarakatna kiwari, Cijulang teh dinamis, Cijulang teh nyongcolang, puseurna dayeuh di pakidulan Nu ceuk masysrakana hiji mangsa mah Cijulang teh mibanda cita-cita hayang "ngadeg sorangan" dina kalungguhanana salaku kota nu sajajar jeung kota-kota sejenna di Wewengkon Kabupaten Ciamis.

Kacatur asalna yen Cijulang teh tina rundayan sajarah nu kieu guaranana:

Babad karuhun urang Ctjulang anu asalna ti Kedungrandu wewengkon Banyumas wastana Nini Gede Aki Gede, anu saderekna aya opat pameget sadayana:

Hiji Sembah Jangpati nu di Ciamis

Dua Sembah Jangraga nu di Karangsimpang

Tilu Sembah Jangsinga nu di Panjalu

Opat Sembah Janglangas anu tetep di Cijulang

Ari Nini Gede Aki Gede katurunan ti Kedungrandu, geus kitu kagungan putra hiji kalayan geulis pinunjul ti batur, ari putrana teh dipundut ku Kanjeng Sinuhun, ku Nini Gede Aki Gede henteu disanggakeun, dongkap dugi ka tujuh kali tetep henteu disanggakeun bae. Sanggeus kitu cindekna Nini Gede Aki Gede disaur ka Karajaan Banyumas, ari dawuhan Kanjeng Sinuhun,

“Naha maneh boga anak di pundut ku kami mana henteu dibikeun, seug ayeuna mah ku kami anjeun rek di pundut mu'jijat kudu nyieun bale tilu suhunan jeung kudu ngarupakeun ingon-ingon anu gedena punjul ti batur, jeung sorana punjul ti batur sarta kudu bukti rupa dina waktu ieu pisan".

Ari ku Nini Gede Aki Gede disanggupan bae sapamundut Sanghiang tea, sanggeus kitu dipiwarang mulih ka Kedungrandu, sanukangna Nini Gede Aki Gede, Sinuhun gunem catur, kieu pokna:

"Kumaha eta Nini Gede Aki Gede, dipundut mu'jijat kieu rupa bae hante aya panggeuingna, kawasna ana kitu mah kudu dilurungan ku kami”.

Ari keur nyaur kitu kadangu ku saderekna Nini Gede Aki Gede nu aya di Banyumas, ku saderekna geuwat bae diwartoskeun ka Kedungrandu. Ari saur saderekna teh kieu pokna:

"Ayeuna Nini Gede Aki Gede kudu ngagugu kana dawuhan Kanjeng Sinuhun, Nini Gede Aki Gede rek dilurugan ku Kanjeng Sinuhun, samentara anjeun arek tiis-tiis jahe, geuwat ayeuna geura leumpang ka kulon".

Ari geus kitu lajeng bae Eyang ngalanglang somahmana. Nya aya kapanggih sawidak kuren. Geus kitu lajeng bae dangdan meunang opat poe opat peuting lajeng bae angkat ka kulon. Barang sumping ka sisi cai lajeng meuntas, mangka anu katelah hanjatan Cimanganti, saparantosna meuntas teras bae rereb ayeuna anu katelah Karasanbaya, lajeng ngadamel bumi hiji, bale hiji, masigit hiji. Lila ti lila kapikireun, "palangsiang mun disused ku Kanjeng Sinuhun", kitu pamikirna. Ari geus kitu putra kahijina wastana Sang Prabu Lawangiagang nu sina tutunggu di Kewasan. Ari Nini Gede Aki Gede mah lajeng deui ngalalakon ka kulon.

Ti kulon lajeng ngidul, barang sumping ka sisi pas kaso eureun, mana ayeuna disebut lembur Cikaso. Didinya ngadamel bale hiji bumi hiji nyaeta ayeuna nu ngaran Sukalembah. Didinya neundeun putra hiji ngarana Mangun Naha Mana Manggala. Ari Nini Gede Aki Gede lajeng deui angkat. Sumpingna ayeuna sakersana ngarereb deui lajeng ngadamel bale hiji bumi hiji, didinya neundeun putra hiji namina Sang Prabu Mangun Ciker. Nu ayeuna kasebut Bojonglekor tea. Ari Nini Gede Aki Gede lajeng angkat deui ka kulon, ari sumping ka bubulak, tuluy olah-olah lajeng barangtuang, tos kitu ayeuna anu katelah Bubulak Karangsimpang tea. Tidinya lajeng deui angkat, barang sumping rereb deui, lajeng ngadamel bumi hiji, sumur hiji, ayeuna anu katelah lembur Binangun tea. Tidinya lajeng angkat deui ningalian pinagaraeun ka Nagarawati sugan aya anu suwung tapi teu aya, tidinya lajeng mulih deui ka Binangun.

Barang sumping, nyondong aya jalmi saurang, ari dipariksa ku Sembah, jawabna kuring Gandek Sinembah Sinuhun seja nyusul sampean, ayeuna papanggih didieu. Ti dinya kacatur ki gandek ngadeuheusan ka Dalem Tamela / Raja Sukapura. Ari pokna,

Kaula diutus ku Kanjeng Sinuhun, Kanjeng Sinuhun kaleungitan jalma sarta mawa panjenengan, ari ku abdi kapendak di Binangun, ari sim abdi ayeuna nitipkeun eta jalma anu aya di Binangun ulah arek di bere gawe, bongan mawa lobana balad sawidak kuren"

Ari geus nitipkeun mah eta sigandek teh, mulih bae. Nini Gede Aki Gede jengkar deui ti Binangun sejak milari pinagaraeun anyar. Tapi teu mendakan, nya ayeuna anu kasebut Lembur Bojongmalang. Geus kitu lajeng deui saparantos henteu nyondong, ari geus burit ngajak barudakna nu sawidak, cenah urang ka sarakan temen ayeuna nu disebut lembur Sarakan, Lajeng deui saparantos henteu manggihan pilembureun, terus ngulon, di hiji tempat nu pikakeueungeun barudakna dilandih we Cikadu. Sababaraha taun di beh kulon, mulang deui ka beh wetan, mere ngaran ka lembur Cikawao, Cikagenah, Cipatahunan jeung Gurago, tungtungna mulang deui ka Binangun neang baladna nu sawidak kalayan ngajak mencar ti Binangun. Mangka malencar ti Binangun, di Binangun ngan ditinggalan sumur hiji nu katelah Sumur Bandung.

Sabudalna ti Binangun, lembur Gurago dijadikeun puseur nagara, didinya dijenengken kholifah jeung perangkat-perangkatna. Karawin tuluy ngabarogaan turunan.

Taun-taun ti harita aya pangangkir ti Sukapura, memeh marangkat manggihan lauk mani numpuk barang diala sorana mani ngajeleger sora gugur, dilandih eta lembur teh kiwari Cigugur. Ari nu diutus ka Sukapura pikeun nepungan Dalem Tamela teh nyaeta anak jeung mantuna Aki Gede Nini Gede. Sihoreng mana horeng Dalem Tamela mundut deui putri nu geus ditikahkeun, nepi katujuh kali mentana teh. Gancang carita disanggakeun" ngan salakina kadungsang-dungsang. Ubar hatena minangka manehna dijenengken Sembah Ragasang. Terasna garwaan deui. Saparantos mibanda kakawasaan, nyandak balad salapan kuren ka kulonken nyukcruk alur cai. Hanjat-hanjat di Panjalu lajeng ka Ciamis muru ka saderek ibuna, nyaeta Jangpati, nyaritakeun lalampahan. Tidinya ngulon deui, ngarereb di leuweung geledegan, didinya ngalahir Sembah Ragadimulya. Tidinya terus ngidul, sumping ka Mandala, Karangnini, lajeng netepkeun salapan kuren di lembah Jajawai.

Tah sakitu cukcrukan galur sasakala Cijulang teh, nu dina tingkesana mun dicindekeun pedah turunan Nini Gede Aki Gede pulang-anting nguriling bulak-balik siga cai mulang di wahangan. Cicirenna mun kiwari, aya cai mulang di Cijulang, kapentog ku cai laut lebah walungan Haurseah ti belah kidul.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Bonus Video Klip

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes