MUGIRI
Ringkasan Novel
Siti
Rakhmah anak tunggal Raden Surya, seorang jurnalis. Selain telah menamatkan
sekolah, anak gadis ini telah selesai pula mengikuti kursus mengetik. Keluarga
Raden Surya menempati sebuah rumah mungil yang berhalaman luas di desa
Cipaganti, bandung Utara.
Rumah
itu terletak berseberangan dengan Situ Bunjali, tempat anak-anak muda bersantai
menghabiskan malam minggunya.
Siti
Rakhmah sangat ingin berada di tengah kesenangan seperti itu, tetapi takut akan
larangan orang tuanya. Dalam keadaan seperti itulah kemudian ia secara
sembunyi-sembunyi berhubungan dengan Gan Adung. Seorang pemuda bekas temannya
kursus mengetik. Keduanya saling berjanji untuk hidup berdampingan dan Gan
Adung telah menyatakan niatnya untuk segera meminang Rakhimah. Apabila lamaran
itu ditolak, Siti Rakhmah bersedia dilarikan.
Lamaran
Gan Adung ternyata ditolak setelah Raden Surya menelitinya selama hampir
sebulan dan terbukti bahwa calon menantunya itu telah memberikan
pengakuan-pengakuan bohong, di samping sikapnya yang sombong. Istri Raden Surya
menyangsikan kebenaran keterangan-keterangan yang diperoleh suaminya itu.
Pada
suatu malam Siti Rakhmah dilarikan oleh Gan Adung dengan kawalan Karta, orang
kepercayaannya dalam memelihara ayam sabung. Beberapa saat sebelumnya, Siti
Rakhmah sempat dahulu menyampaikan keterangan-keterangan ayahnya, tetapi Gan
Adung memungkirinya diertai janji-janji penuh rayuan. Siti Rakhmah dititipkan
pada seorang perempuan tua di Babakan Ciparay yang rumahnya terpencil dari
tetangga. Bi Sarni, nama perempuan itu, dan Karta menyatakan janjinya akan
menjaga Siti Rakhmah dengan baik.
Minggatnya
Siti Rakhmah diketahui keesokan harinya. Ibunya sangat sedih dan bingung,
sedangkan Raden Surya bersikap tenang dan memutuskan untuk tidak mencarinya
karena pelarian itu ternyata atas keinginan anaknya pula. Ia berpendapat lebih
baik tidak mempunyai anak daripada mempunyai anak bertingkah buruk dan
memalukan, padahal seorang anak yang ilmunya cukup dan berpendidikan.
Kebahagiaan
Rakhmah hidup bersma dengan Gan Adung di persembunyiannya itu hanya berlangsung
satu sampai dua bulan. Mereka kemudian menikah setelah Gan Adung beberapa kali
mengundurkannya dengan berbagai alasan. Selanjutnya, gan Adung sering bepergian
dan jarang pulang. Akhirnya ia tidak pernah lagi membawa uang gaji. Perhiasan
dan barang-barang Siti Rakhmah berangsur-angsur masuk rumah gadai, sampai
akhirnya pakaian yang tersisa pun hanyalah yang melekat pada tubuhnya. Setelah
satu setengah tahun berumah tangga, hamilnya pun genaplah sembilan bulan. Bi
Sarni, orang yang ditumpanginya, sudah sejak lama mulai berbudi kecut dan
berkata kasar kepadanya. Pada suatu hari malah secara langsung ia mengusir Siti
Rakhmah dengan kata-kata yang menyakitkan. Kedatangan Karta pada waktu itu
malah menambah kepedihan hatinya. Karta berbisik pada Bi Sarni bahwa Gan Adung
telah mempunyai wanita lain, seorang janda kaya yang baru saja ditinggal mati
oleh suaminya.
Pada
saat-saat yang menegangkan seperti itu, datang ke sana Tuan Gulam Kodir,
seorang rentenir dan tukang kredit bahan pakaian. Rasa jengkelnya kepada Bi
Sarni yang selalu menghindar dari tagihan mendadak hilang setelah diperkenalkan
kepada Siti Rakhmah. Atas janji Bi Sarni untuk menyerahkan Rakhmah, akhirnya
Tuan Gulam Kodir membebaskan semua piutangnya dan menghadiahkan dua potong kain
yang diminta Bi Sarni dan Karta. Dengan sisat Bi Sarni dan setahu Gan Adung,
akhirnya Siti dituduh telah berbuat serong dengan Tuan Gulam Kodir. Sebagai
buktinya ialah kedua potong kain itu, yang ditemukan di bawah tikar tempat
tidur Siti Rakhmah. Gan Adung menyiksa dan dengan paksa mengusir istrinya pada
malam hari di tengah hujan lebat, angin, dan halilintar.
Berangkatlah
Siti Rakhmah, meninggalkan rumah itu, melewati kampung Situ Saeur, daerah
Cipaganti, Lembang dan Cikidang. Sebelum sampai ke Cikawati, perutnya mulai
terasa mulas hendak melahirkan. Akhirnya, ia dengan selamat melahirkan di sebuah
dangau di tengah kebun jagung, bayinya ditinggalkan di sana. Bayi itu kemudian
ditemukan oleh Bapa Ispa dan Ambu Ispa, pengurus kebun itu, lalu diserahkan
kepada Mas Wiria pemilik tanah itu yang tinggal di Bandung. Anak itu kemudian
diberi nama Mugiri untuk mengenang bahwa ia ditemukan di Gunung (Giri).
Siti
Rakhmah sampai ke pasar Cikawari yang terletak di depan gudang kopi, lalu duduk
di belakang sebuah jongko. Di sana ia diusir pedagang dengan tuduhan sering
mencuri barang dagangannya. Rakhmah menyingkir, berteduh di bawah sebuah pohon.
Di situlah ia terkenang akan nasihat-nasihat ayahnya yang berkata bahwa ayahnya
tidaklah hendak memaksa dalam menentukan pilihan pasangan hidup anaknya, tetapi
anak sendiri harus matang memperhitungkannya supaya tidak berakhir dengan
penyesalan. Di situ pula ia ingat akan kebengisan suaminya. Oleh karena kuatnya
lamunan itu akhirnya Rakhmah mengamuk, bertingkah seperti orang gila. Ia
ditangkap beramai-ramai, disekap dalam sebuah kamar kosong di rumah seorang
pensiunan lurah. Kemudian ia dijadikan pembantunya, tetapi tiga bulan kemudian
terpaksa harus pergi lagi karena ternyata lurah itu telah memaksanya untuk
dijadikan istri muda.
Siti
Rakhmah sampai ke Puncak Eurad, sebuah kampung di gunung, perbatasan antara
Bandung dan Karawang. Ia diangkat anak dan bekerja pada Mak Ijah, seorang
perempuan tua penjual cendol. Setelah enam bulan berlalu, berangkatlah keduanya
ke Subang. Mak Ijah bermaksud menengok anaknya, Juki yang bekerja sebagai
mandor pabrik tapioka di sana. Siti Rakhmah ternyata dapat diterima sebagai
juru tik di tempat Juki bekerja setelah di tes langsung oleh pemimpinnya
seorang Belanda. Oleh karena Siti Rakhmat fasih pula berbahasa Belanda,
langsung ia memperoleh gaji besar dan karena hematnya ia berhasil membeli tanah
dan memiliki rumah sendiri. Ia selalu ingat akan nasihat-nasihat Mak Ijah,
selalu berdoa untuk anaknya, serta berkeinginan bertemu kembali dengan kedua
orang tuanya.
Mugiri
dimasukkan ke HIS partikelir oleh ayah angkatnya, kemudian dilanjutkan ke TS
(sekolah pertukangan) agar kelak dapat menjadi opzichter atau montir. Menurut
pikiran ayah angkatnya, bekerja seperti itu dapat merdeka. Sehari-hari ia
terutama dididik akan kebaikan, kemanusiaan, menyayangi bangsanya, dan menolong
orang yang sengsara. Ia pun dimasukkan pula kedalam perkumpulan Palvinder
Nonoman Indonesia (PNI) dan diharuskan belajar olah raga. Sementara Mugiri di
TS, ibu angkatnya menderita sakit, kemudian meninggal. Di samping mengucapkan
beberapa amanat, sebelum meninggal ibu angkatnya berdoa agar Mugiri
dipertemukan kembali dengan ibu kandungnya.
Setelah
lama hidup dalam kesenangan. Siti Rakhmah, Mak Ijah, serta Juki sekeluarga
berangkat dari Subang menuju Puncak Eurad, Cikawati dan mengunjungi dangau
tempat Mugiri dilahirkan. Kepada penggarap kebun, Siti Rakhmah menyatakan
niatnya untuk membeli kebun itu. Di tempat itu akhirnya ia bertemu dengan
pemilik kebun itu, yaitu Mas Wiria beserta Mugiri. Atas desakan Mas Wiria, yang
berpura-pura tidak mau menjual kebun itu, akhirnya Siti Rakhmah terpaksa
berterus terang menceritakan kisah hidupnya mengapa ia berkeras hendak membeli
kebuin itu. Kemudian terbukalah rahasia Siti Rakhmah bahwa Mugiri adalah bayi
yang dulu ditinggalkannya. Tidak lama kemudian setelah Siti Rakhmah disahkan
perceraiannya dengan suaminya oleh pengadilan agama Islam, ia pun menikah
dengan Mas Wiria, kemudian pindah ke Bandung. Namun, tiga tahun kemudian Mas
Wiria meninggal.
Sementara
ibu dan anak masih dalam suasana berkabung, terjadilah usaha penggarongan ke
rumahnya karena terdengar jumlah warisan yang mereka miliki. Kedua pencuri itu
ternyata Gan Adung dan Karta. Dalam pergumulan malam itu Gan Adung tertikam
oleh pisau Karta. Sebelum ia menghembuskan napas terakhir, ia masih dikenali
oleh Siti Rakhmah dan masih sempat diberitahu bahwa Mugiri adalah anaknya.
Siti
Rakhmah akhirnya kembali kepada orang tuanya dan diterima oleh mereka dengan
penuh kegembiraan bercampur kesedihan.
MUGIRI
Siti
Rakhmah anak tunggal Raden Surya, seorang jurnalis. Selain telah menamatkan
sekolah, anak gadis ini telah selesai pula mengikuti kursus mengetik. Keluarga
Raden Surya menempati sebuah rumah mungil yang berhalaman luas di desa
Cipaganti, bandung Utara.
Rumah
itu terletak berseberangan dengan Situ Bunjali, tempat anak-anak muda bersantai
menghabiskan malam minggunya.
Siti
Rakhmah sangat ingin berada di tengah kesenangan seperti itu, tetapi takut akan
larangan orang tuanya. Dalam keadaan seperti itulah kemudian ia secara
sembunyi-sembunyi berhubungan dengan Gan Adung. Seorang pemuda bekas temannya
kursus mengetik. Keduanya saling berjanji untuk hidup berdampingan dan Gan
Adung telah menyatakan niatnya untuk segera meminang Rakhimah. Apabila lamaran
itu ditolak, Siti Rakhmah bersedia dilarikan.
Lamaran
Gan Adung ternyata ditolak setelah Raden Surya menelitinya selama hampir
sebulan dan terbukti bahwa calon menantunya itu telah memberikan
pengakuan-pengakuan bohong, di samping sikapnya yang sombong. Istri Raden Surya
menyangsikan kebenaran keterangan-keterangan yang diperoleh suaminya itu.
Pada
suatu malam Siti Rakhmah dilarikan oleh Gan Adung dengan kawalan Karta, orang
kepercayaannya dalam memelihara ayam sabung. Beberapa saat sebelumnya, Siti
Rakhmah sempat dahulu menyampaikan keterangan-keterangan ayahnya, tetapi Gan
Adung memungkirinya diertai janji-janji penuh rayuan. Siti Rakhmah dititipkan
pada seorang perempuan tua di Babakan Ciparay yang rumahnya terpencil dari
tetangga. Bi Sarni, nama perempuan itu, dan Karta menyatakan janjinya akan
menjaga Siti Rakhmah dengan baik.
Minggatnya
Siti Rakhmah diketahui keesokan harinya. Ibunya sangat sedih dan bingung,
sedangkan Raden Surya bersikap tenang dan memutuskan untuk tidak mencarinya
karena pelarian itu ternyata atas keinginan anaknya pula. Ia berpendapat lebih
baik tidak mempunyai anak daripada mempunyai anak bertingkah buruk dan
memalukan, padahal seorang anak yang ilmunya cukup dan berpendidikan.
Kebahagiaan
Rakhmah hidup bersma dengan Gan Adung di persembunyiannya itu hanya berlangsung
satu sampai dua bulan. Mereka kemudian menikah setelah Gan Adung beberapa kali
mengundurkannya dengan berbagai alasan. Selanjutnya, gan Adung sering bepergian
dan jarang pulang. Akhirnya ia tidak pernah lagi membawa uang gaji. Perhiasan
dan barang-barang Siti Rakhmah berangsur-angsur masuk rumah gadai, sampai
akhirnya pakaian yang tersisa pun hanyalah yang melekat pada tubuhnya. Setelah
satu setengah tahun berumah tangga, hamilnya pun genaplah sembilan bulan. Bi
Sarni, orang yang ditumpanginya, sudah sejak lama mulai berbudi kecut dan
berkata kasar kepadanya. Pada suatu hari malah secara langsung ia mengusir Siti
Rakhmah dengan kata-kata yang menyakitkan. Kedatangan Karta pada waktu itu
malah menambah kepedihan hatinya. Karta berbisik pada Bi Sarni bahwa Gan Adung
telah mempunyai wanita lain, seorang janda kaya yang baru saja ditinggal mati
oleh suaminya.
Pada
saat-saat yang menegangkan seperti itu, datang ke sana Tuan Gulam Kodir,
seorang rentenir dan tukang kredit bahan pakaian. Rasa jengkelnya kepada Bi
Sarni yang selalu menghindar dari tagihan mendadak hilang setelah diperkenalkan
kepada Siti Rakhmah. Atas janji Bi Sarni untuk menyerahkan Rakhmah, akhirnya
Tuan Gulam Kodir membebaskan semua piutangnya dan menghadiahkan dua potong kain
yang diminta Bi Sarni dan Karta. Dengan sisat Bi Sarni dan setahu Gan Adung,
akhirnya Siti dituduh telah berbuat serong dengan Tuan Gulam Kodir. Sebagai
buktinya ialah kedua potong kain itu, yang ditemukan di bawah tikar tempat
tidur Siti Rakhmah. Gan Adung menyiksa dan dengan paksa mengusir istrinya pada
malam hari di tengah hujan lebat, angin, dan halilintar.
Berangkatlah
Siti Rakhmah, meninggalkan rumah itu, melewati kampung Situ Saeur, daerah
Cipaganti, Lembang dan Cikidang. Sebelum sampai ke Cikawati, perutnya mulai
terasa mulas hendak melahirkan. Akhirnya, ia dengan selamat melahirkan di sebuah
dangau di tengah kebun jagung, bayinya ditinggalkan di sana. Bayi itu kemudian
ditemukan oleh Bapa Ispa dan Ambu Ispa, pengurus kebun itu, lalu diserahkan
kepada Mas Wiria pemilik tanah itu yang tinggal di Bandung. Anak itu kemudian
diberi nama Mugiri untuk mengenang bahwa ia ditemukan di Gunung (Giri).
Siti
Rakhmah sampai ke pasar Cikawari yang terletak di depan gudang kopi, lalu duduk
di belakang sebuah jongko. Di sana ia diusir pedagang dengan tuduhan sering
mencuri barang dagangannya. Rakhmah menyingkir, berteduh di bawah sebuah pohon.
Di situlah ia terkenang akan nasihat-nasihat ayahnya yang berkata bahwa ayahnya
tidaklah hendak memaksa dalam menentukan pilihan pasangan hidup anaknya, tetapi
anak sendiri harus matang memperhitungkannya supaya tidak berakhir dengan
penyesalan. Di situ pula ia ingat akan kebengisan suaminya. Oleh karena kuatnya
lamunan itu akhirnya Rakhmah mengamuk, bertingkah seperti orang gila. Ia
ditangkap beramai-ramai, disekap dalam sebuah kamar kosong di rumah seorang
pensiunan lurah. Kemudian ia dijadikan pembantunya, tetapi tiga bulan kemudian
terpaksa harus pergi lagi karena ternyata lurah itu telah memaksanya untuk
dijadikan istri muda.
Siti
Rakhmah sampai ke Puncak Eurad, sebuah kampung di gunung, perbatasan antara
Bandung dan Karawang. Ia diangkat anak dan bekerja pada Mak Ijah, seorang
perempuan tua penjual cendol. Setelah enam bulan berlalu, berangkatlah keduanya
ke Subang. Mak Ijah bermaksud menengok anaknya, Juki yang bekerja sebagai
mandor pabrik tapioka di sana. Siti Rakhmah ternyata dapat diterima sebagai
juru tik di tempat Juki bekerja setelah di tes langsung oleh pemimpinnya
seorang Belanda. Oleh karena Siti Rakhmat fasih pula berbahasa Belanda,
langsung ia memperoleh gaji besar dan karena hematnya ia berhasil membeli tanah
dan memiliki rumah sendiri. Ia selalu ingat akan nasihat-nasihat Mak Ijah,
selalu berdoa untuk anaknya, serta berkeinginan bertemu kembali dengan kedua
orang tuanya.
Mugiri
dimasukkan ke HIS partikelir oleh ayah angkatnya, kemudian dilanjutkan ke TS
(sekolah pertukangan) agar kelak dapat menjadi opzichter atau montir. Menurut
pikiran ayah angkatnya, bekerja seperti itu dapat merdeka. Sehari-hari ia
terutama dididik akan kebaikan, kemanusiaan, menyayangi bangsanya, dan menolong
orang yang sengsara. Ia pun dimasukkan pula kedalam perkumpulan Palvinder
Nonoman Indonesia (PNI) dan diharuskan belajar olah raga. Sementara Mugiri di
TS, ibu angkatnya menderita sakit, kemudian meninggal. Di samping mengucapkan
beberapa amanat, sebelum meninggal ibu angkatnya berdoa agar Mugiri
dipertemukan kembali dengan ibu kandungnya.
Setelah
lama hidup dalam kesenangan. Siti Rakhmah, Mak Ijah, serta Juki sekeluarga
berangkat dari Subang menuju Puncak Eurad, Cikawati dan mengunjungi dangau
tempat Mugiri dilahirkan. Kepada penggarap kebun, Siti Rakhmah menyatakan
niatnya untuk membeli kebun itu. Di tempat itu akhirnya ia bertemu dengan
pemilik kebun itu, yaitu Mas Wiria beserta Mugiri. Atas desakan Mas Wiria, yang
berpura-pura tidak mau menjual kebun itu, akhirnya Siti Rakhmah terpaksa
berterus terang menceritakan kisah hidupnya mengapa ia berkeras hendak membeli
kebuin itu. Kemudian terbukalah rahasia Siti Rakhmah bahwa Mugiri adalah bayi
yang dulu ditinggalkannya. Tidak lama kemudian setelah Siti Rakhmah disahkan
perceraiannya dengan suaminya oleh pengadilan agama Islam, ia pun menikah
dengan Mas Wiria, kemudian pindah ke Bandung. Namun, tiga tahun kemudian Mas
Wiria meninggal.
Sementara
ibu dan anak masih dalam suasana berkabung, terjadilah usaha penggarongan ke
rumahnya karena terdengar jumlah warisan yang mereka miliki. Kedua pencuri itu
ternyata Gan Adung dan Karta. Dalam pergumulan malam itu Gan Adung tertikam
oleh pisau Karta. Sebelum ia menghembuskan napas terakhir, ia masih dikenali
oleh Siti Rakhmah dan masih sempat diberitahu bahwa Mugiri adalah anaknya.
Siti
Rakhmah akhirnya kembali kepada orang tuanya dan diterima oleh mereka dengan
penuh kegembiraan bercampur kesedihan.
0 komentar:
Posting Komentar